TEMPO Interaktif, Jakarta - "Capek banget, rasanya saya sama sekali tidak punya tenaga." Keluhan ini sering kali keluar dari mulut Nora, 44 tahun. Dalam beberapa bulan terakhir, ia tak hanya mulai sering meminta izin tak masuk kerja. Bahkan anggota keluarganya pun mulai memperhatikan, banyak aktivitas yang biasanya dilakukan Nora kini ditolak dengan alasan kelelahan.
Sebenarnya, menurut Dr Ari Fahrial Syam, SpPD,K-GEH, FINASIM, MMB, ahli penyakit dalam dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, kelelahan adalah reaksi normal setelah manusia melakukan kegiatan fisik yang lama atau berat. Bisa juga terjadi setelah manusia mengalami kurang tidur karena suatu penyebab. Kelelahan normal ini umumnya bisa terbayarkan dengan beristirahat yang cukup.
"Tapi ada juga kelelahan atau fatigue yang merupakan tanda dari suatu penyakit. Misalnya, ketika mengalami infeksi, terutama yang disertai dengan demam," kata Ari.
Bukan hanya penyakit infeksi, kelelahan juga bisa menjadi gejala dari penyakit kronis macam diabetes melitus. "Juga bisa muncul pada pasien dengan gangguan fungsi hati. Gangguan lever yang terjadi biasanya ditandai oleh fungsi hati (SGOT dan SGPT) yang meningkat. Gangguan fungsi hati bisa karena fatty liver atau terjadi hepatitis," kata Ari.
Nah, jika seseorang--seperti Nora--mengalami kelelahan yang sangat bukan karena suatu penyakit seperti yang disebutkan Ari--bukan karena aktivitas yang berlebihan dan tidak membaik setelah istirahat--ada kemungkinan dia mengalami sindrom kelelahan kronis atau chronic fatigue syndrome (CFS). Sindrom ini sering membuat penderita merasa hidupnya tak normal karena aktivitas kesehariannya terganggu.
Baca Juga:
"Tapi ada syarat lain untuk disebut sebagai chronic fatigue syndrome. Selain lelah, ditemukan empat gejala atau lebih selama enam bulan," Ari menambahkan. Gejala yang dimaksud di antaranya mudah lupa, sulit berkonsentrasi, sakit tenggorokan, demam, dan nyeri otot.
CFS bisa muncul sangat parah karena penderita bisa jadi tidak memperhatikan masalah ini setelah beberapa minggu atau bulan kemudian. Meski penyebabnya belum jelas dan sulit didiagnosis, bukan tak mungkin sindrom ini tidak bisa ditangani. "Chronic fatigue syndrome ini sebenarnya merupakan gangguan fungsional atau psikis. Jadi kelelahan yang terjadi harus dipastikan bukan karena gangguan organik," kata Ari.
Untuk memastikan kelelahan bukan karena masalah organik, mungkin dokter akan melakukan beberapa tes. Misalnya, melakukan pemeriksaan darah komplet, untuk melihat kecukupan jenis dan jumlah sel dalam darah; sedimentasi eritrosit, untuk melihat ada-tidaknya peradangan dalam tubuh serta kadar gula dalam darah; dan tes hormon stimulasi tiroid, untuk melihat ada-tidaknya masalah yang menyerang kelenjar tiroid.
Lalu apa penyebab CFS? "Sampai saat ini penyebabnya memang belum diketahui dengan pasti. Namun diketahui 'aktor pencetusnya' berhubungan dengan stres berkepanjangan. Baik karena masalah keluarga, pekerjaan, pendidikan, maupun sosial-ekonomi," Ari menjelaskan.
Uniknya, sering kali penderita CFS sendiri tidak menyadari adanya faktor stres tersebut. "Maka perlu eksplorasi khusus untuk mengetahui akar masalahnya," kata Ari.
Penanganan pasien CFS tidak sederhana dan cukup rumit. Bukan proses pencarian akar masalahnya saja, "Tapi juga perlu kerja sama tim, baik dokter spesialis penyakit dalam, psikiater, maupun fisioterapis, untuk membantu mengatasi permasalahan pasien dengan CFS ini," kata Ari.
Karena itu, Ari mengingatkan, daripada telanjur repot mengobati CFS, menghindari penyakit ini lebih penting dilakukan. Caranya tidak hanya menjaga gaya hidup sehat semata, seperti cukup istirahat dengan tidur 7-8 jam sehari, menjaga pola makan, dan rajin berolahraga. "Tapi juga perlu menjalani hidup dengan pengendalian diri, hidup apa adanya, dan selalu positive thinking."
I UTAMI WIDOWATI