TEMPO Interaktif, Jakarta -Bicara batik tak hanya menguntai keindahan batik dari Solo, Yogyakarta, Cirebon, Garut, atau Madura. Beberapa daerah lain yang terpinggirkan, seperti Kudus, Demak, Banyumas, Tuban, dan Rembang, kini juga mulai unjuk diri dengan keunggulan batiknya. Seperti yang dilakukan Perhimpunan Rumah Pesona Kain (RPK) beberapa waktu lalu, yang berkolaborasi dengan Divisi Program Apresiasi Budaya, Djarum, melalui batik Kudus.
Karya perajin pesisir batik asal Kudus, Jawa Tengah, ini lahir dari perpaduan kreasi perajin batik Pekalongan, Yogyakarta, dan Solo. Pada era 1940-an, pedagang Cina di Kudus mengundang perajin batik dari berbagai daerah untuk membuatkan batik khusus untuk mereka. Alhasil, kolaborasi dari perajin batik ini menghasilkan motif batik yang unik. Bagian dasar batik Kudus kental dengan sentuhan batik Yogyakarta dan Solo, sedangkan motif bunganya lekat dengan karakter batik Pekalongan.
Batik Kudus, diakui Ade Krisnaraga Syarfuan, dari RPK, tidak hanya bermotif multikultur, warnanya pun sangat kaya, lantaran perpaduan budayanya. Menurut Ade, batik Kudus memiliki pengaruh Arab (kaligrafi) lantaran Kudus berdekatan dengan Demak, yang identik dengan penyebaran ajaran Islam. Warna cokelat dan hitam juga memperkaya warna batik Kudus. "Keunggulan batik tulis Kudus, misalnya, sangat unik dan bernilai, sangat wajar bila harganya mahal mencapai jutaan rupiah. Namun kini kami membuat replika dari batik kuno hingga bisa dijual dengan harga lebih murah atau berkisar ratusan ribu," ujarnya.
Menurut Ade, batik Kudus sempat menghilang karena masyarakat mulai meninggalkan kegiatan membatik. "Faktor lainnya, karena tidak ada lagi yang mengenakan batik Kudus. Tetapi RPK memberikan perhatian untuk melestarikan warisan leluhur, termasuk batik Kudus. Kami pun melakukan pembinaan supaya batik pinggiran ini naik kelas dan masuk ke peringkat papan atas," ujarnya.
Ade menerangkan, berbagai motif kain otentik pada batik Kudus yang selama ini dikenal dengan batik peranakan yang halus dengan isen-isen rumit, seperti gabah sinawur, moto iwak, atau mrutu sewu. Batik ini berwarna sogan (kecokelatan) seperti umumnya batik Jawa Tengah. "Namun, tentang corak, pilihannya beragam, mulai corak tombak, kawung, atau parang, yang dihiasi dengan buketan, pinggiran lebar (terang bulan), taburan kembang, kupu-kupu, atau burung dengan warna cerah, seperti merah," kata dia.
Sementara itu, Miranti Serad Ginanjar, pembina perajin Kudus, mengatakan keunikan batik Kudus memiliki perkembangan warna dan motif yang indah. "Seperti warna dan motif kupu-kupu, daun tembakau, yang dikembangkan bekerja sama dengan perajin Youke Yuliantaries. Hal ini menjadi salah satu terobosan agar batik Kudus bisa melaju atau naik kelas, dan harapannya, penggemar pun semakin meningkat," ujar Miranti.
Adapun Asmoro Damais, pakar batik, menjelaskan, batik Kudus memiliki keunikan, yaitu paling sulit dikenali dan gayanya membingungkan. "Justru hal ini menjadi keunikan karena perbedaan serta keragaman budaya yang tecermin di motifnya. Batik Kudus selalu mempunyai dasar yang rumit, memiliki tingkat kehalusan tinggi dan unik di detailnya. Pembuatan batik tulis Kudus tidak selesai dalam enam bulan, karena itu harga tidak murah," ujar Asmoro.
Dia menuturkan, batik daerah pinggiran berpotensi melaju ke peringkat atas, syaratnya harus ada pembinaan ke para perajin yang membantu serta memberikan semangat dan inspirasi berkarya. "Mereka (perajin) perlu dibina dan didampingi untuk menuangkan ide atau hal baru yang bisa dipadukan menjadi sesuatu yang siap pakai, bahkan memenuhi citarasa modern. Di samping, tentunya, tetap mengutamakan unsur kekhasan, ciri klasik atau pakem mereka," ujarnya.
Dia menyebutkan, daerah pinggiran lain, seperti Demak, memiliki batik bermotif menarik. Antara lain motif Ulam Segaran, Tigo Rangsik, Sabet Rangsik, Semangka Tegalan, Beras Wutah, atau Cupit Kepiting. Menurut Asmoro, istilah Rangsik merupakan singkatan atau perpaduan dari sebutan urang (udang), kerang, dan sisik. Penyederhanaan nama serta bentuk binatang laut itu supaya ciri batik pesisiran lebih kentara.
Kemudian batik Tuban merupakan batik yang khas karena proses pembatikannya dimulai dari bahan kain yang digunakan untuk membatik dipintal langsung dari kapas. Asmoro menjelaskan, gulungan kapas yang dipintal menjadi benang, lalu ditenun menjadi selembar kain dan dibatik, disebut Batik Gedog.
Keistimewaan lain dari batik Tuban adalah menjadi salah satu batik pesisiran yang mempunyai warna beragam. Seperti dijelaskan dalam buku Batik Fabled Cloth of Java karangan Inger McCabe Elliot, sebenarnya batik Tuban mirip batik Cirebon pada pertengahan abad ke-19. Kemiripan ini terjadi pada penggunaan benang pintal dan penggunaan warna merah dan biru pada proses pencelupan. Namun, ketika Kota Cirebon mengalami perubahan dramatis dan diikuti dengan perubahan pada batiknya, batik Tuban tetap seperti semula.
Asmoro menuturkan, batik Gedog sebenarnya hampir punah karena orang sudah tidak suka lagi memintal benang. Tapi, kalau membatik, orang masih senang. Untuk pekerjaan memintal benang, sangat jarang orang yang mau melakukannya. Paling yang bersedia hanya ibu-ibu tua karena sudah tidak mampu lagi mengolah sawah atau ladang.
HADRIANI P