TEMPO Interaktif, Jakarta -Raditya Parasadi, 23 tahun, tampak asyik menyapa orang-orang yang memasuki ruang pertemuan. Pertanyaan dasar, seperti siapa nama kamu dan apa agama kamu, cukup membuat kesan bahwa Radit sama seperti anak kebanyakan. Namun siapa sangka, sindrom autisme telah disandangnya sedari kecil. Vonis dokter bahwa anaknya gila dan hujatan dari keluarga besar atas kondisi istimewa anaknya pun langsung diterima oleh sang ibu, Sri Astuti, dengan tegar kala itu. Hingga usia 10 tahun, Radit tak kunjung dapat berbicara. Maka pada akhirnya Radit terpaksa dirawat oleh dokter layaknya anak yang menderita bisu, tuli, dan sakit jiwa.
Saya melakukan segalanya untuk mengobati Radit waktu kecil dulu. Dari dokter hingga dukun, karena pada zaman itu teknologinya memang belum mendukung," ujar Sri.
Dengan kesabaran, sentuhan, dan doa, Sri tetap memberikan didikan kepada Radit semampunya. Meski tidak ada tatapan dari Radit, Sri tetap percaya dan telaten mengajak bicara anaknya itu tentang banyak hal. Kondisi Radit akhirnya berangsur membaik, saat ini dia telah dua kali mengkhatamkan Al-Quran, mengerjakan salat wajib dan sunah, merancang baju, memasak, serta memiliki pengalaman kerja dua tahun di perhotelan.
Baca Juga:
Berbeda halnya dengan yang dilakukan Irma Revico, ibunda penyandang autisme bernama Dafa, 7 tahun. Untuk mengoptimalkan tumbuh-kembang Dafa, Irma melibatkan peran serta anggota keluarganya. Adik Dafa, Mia, 5 tahun, tidak hanya diberikan pengertian untuk memahami kondisi kakaknya, tapi juga diberi peran untuk berinteraksi dengan Dafa.
"Adik Dafa ternyata guru yang baik karena mengenalkan Dafa cara berkomunikasi. Dafa pun pada usia 2 tahun telah menguasai operasional laptop tanpa diajari," ujar Irma.
Menurut Dr Andreas Harry, Sp. S, autisme merupakan sindrom yang disebabkan oleh perbedaan struktur dimensi anatomi pada otak seseorang dan bukan kecacatan otak. Secara teoretis, jika ukuran anatomi suatu bagian otak manusia lebih besar dari ukuran rata-rata, ukuran bagian otak yang lain akan lebih kecil. Fungsi dari bagian otak itu pun pada akhirnya bergantung pada ukuran bagian otak tersebut.
"Hal yang tidak kalah penting adalah menemukan cara terbaik menjadikan penyandang autisme memiliki kelebihan luar biasa dari dirinya. Untuk itu, kolaborasi keahlian antara dokter-anak, psikiater, psikologi, ahli terapi dan perilaku, serta neurologi sangat diperlukan," ucap Andreas.
Dokter anak, kata Andreas, sangat diperlukan untuk menjaga kesehatan proses tumbuh dan berkembangnya seorang baby-autism hingga menjadi dewasa. Seorang ahli psikiater dibutuhkan untuk mengatasi berbagai diagnosis sindrom kejiwaan yang tak jarang juga hadir bersama karakter autisnya. Sedangkan ahli pendidikan serta ahli terapi dan perilaku dibutuhkan saat semakin lebarnya spectrum autism dengan menuntun secara personal berbagai cara terbaik untuk proses pembelajaran penyandang autisme.
Sementara itu, ahli neurologi, selain harus mampu menjelaskan kondisi biopsikologi, mesti memberikan terapi neuro-psikologi penyandang autisme. Caranya dengan mengenali berbagai gejala neorologi dan struktur anatomi otaknya. Jadi, selain mengetahui kelemahan, dituntut untuk mampu menemukan aspek kognitif yang luar biasa dan potensial yang dimiliki penyandang autisme. Kemudian dari sisi psikolog dibutuhkan untuk mengoptimalkan kematangan serta membangun kesadaran dan atmosfer sosial dalam membesarkan penyandang autisme.
Menurut Andreas, dalam konteks pendidikan anak yang menderita autisme, saat ini berbagai institusi pendidikan di Indonesia masih bersifat eksklusif. Artinya anak autis selalu berada dalam suatu pengelompokan pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus. "Hal ini secara potential loss sangat mengkhawatirkan. Padahal mereka bisa dioptimalkan," ujarnya.
Andreas menjabarkan, jika dengan karakter "single interest" pada penyandang autisme dan dikumpulkan setiap hari dalam suatu perkumpulan, dalam konteks ilmu perilaku, autis A akan melihat dan meniru autis B, dan autis B juga meniru dari autis C. Hal ini menyebabkan terjadinya complex autism pada seorang penyandang autisme. Dan dapat dipastikan, tidak akan terjadi suatu percepatan proses pembelajaran kematangan kognitif yang sesungguhnya secara efektif.
"Adanya single interest ini adalah jalan yang akan menjadikan penyandang autisme bisa mewujudkan potensi kognitifnya yang luar biasa. Dengan metode pendidikan yang baik dan benar, mereka dapat dituntun menjadi musikus andal maupun kemampuan yang luar biasa," kata Andreas, memungkasi.
RENNY FITRIA SARI