Menjabat Kepala Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Kerajinan dan Batik memungkinkan Dewi mengumpulkan bahan-bahan kajian ke berbagai pelosok daerah. Ia mempelajari setiap lekuk, garis, dan ornamen yang kemudian diterjemahkan ke dalam bentuk pola.
Lulusan Teknik Kimia Universitas Gadjah Mada ini berkeliling dari satu desa ke desa lain demi mencari corak dan motif batik khas desa setempat. Dibantu oleh Mangundikarso (almarhum), penggambar pola batik, setiap motif yang ditemuinya digambar ulang secara detail dan dinamainya sesuai dengan nama yang dikenal oleh masyarakat.
Baca Juga:
Hasil ketekunan perempuan kelahiran 16 November 1930 ini terangkum dalam buku setebal 571 halaman ini. Buku ini diterbitkan oleh Yayasan Titian Masa Depan atau Titian Foundation, yang didirikan Lily Kasoem.
"Batik adalah proses kehidupan panjang yang dipercaya masyarakat Jawa. Siapa pun dia yang merasa menjadi orang Jawa pasti mengenal batik atau kain melalui peran seorang ibu, nenek, atau orang yang dituakan," kata Dewi--panggilan Sri Soedewi Samsi.
Bagi masyarakat Jawa, ia melanjutkan, batik merupakan bagian dari denyut napas kehidupan. Dalam siklus kehidupan, manusia Jawa tidak akan terlepas dari batik yang mencatat sejarah kehidupan seseorang.
Mulai pertama dilahirkan ke bumi sebagai bayi, ia berbungkus kain batik demi melindungi tubuh mungilnya dari panas dan dingin. Berangsur tumbuh menjadi remaja sampai dewasa, ia mengenakan kain batik. Lalu ke jenjang pernikahan, seseorang memakai batik sebagai busana pengantinnya. Hingga meninggal pun, saat masuk ke liang lahad, tubuhnya berbungkus kain panjang batik.
"Saya sebagai orang Jawa meyakini batik merupakan persembahan seorang ibu. Saya tahu batik dari ibu saya. Dan kebanyakan orang lain pun merasakan hal yang sama," ujarnya.
Mantan Rektor Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Yogyakarta itu menilai kesahajaan merupakan cara hidup orang Jawa yang enggan untuk menonjolkan diri. Kondisi ini menurut dia menjadi dilema tersendiri dalam penelusuran sejarah desain batik.
Berdasarkan identifikasi Dewi, terdapat 60 motif batik Kawung dan Parang. Namun di masyarakat terdapat 23 jenis variasi, seperti Kawung Gringsing, Picis, Ukel, dan masih banyak lagi. Dewi juga menyebut motif Parang Rusak dan Kawung sebagai motif paling tua dari 370 koleksi motif yang ditulis dalam bukunya itu.
Nenek tujuh cucu ini juga berharap buku ini dapat menyebarkan semangat menggunakan batik tulis dan batik cap kepada masyarakat. Masyarakat juga diharapkan semakin menghargai para pembuat batik sebagai seniman, bukan sekadar buruh batik.
Sebelumnya, terbit dua buku batik yang juga ditulis oleh perempuan. Dari segi ketebalan, gabungan kedua buku itu baru bisa menyamai karya Dewi. Buku dimaksud adalah karya Ibu Negara Ani Yudhoyono. Judulnya
Batikku, Pengabdian Cinta Tak Berkata, yang juga diterbitkan dalam edisi bahasa Inggris, My Batik Story, A Silent Labor of Love.Dalam buku itu ia mengisahkan ihwal seni membatik yang biasa dilihatnya sejak masa kanak-kanak. Tak aneh jika Ani cukup mengenal para pembatik terkemuka di daerahnya. Juga mulai mengoleksi beragam corak dan jenis batik dari berbagai daerah sejak remaja. Karena itu, dia bisa menjelaskan sedikit sejarah dan karakteristik batik-batik yang dikoleksinya.
Keterampilan membatik lebih bersifat pengetahuan turun-temurun. Namun sekarang, khususnya di Solo, membatik diajarkan resmi di sekolah dasar hingga menengah atas.
“
The art of making batik is never learned at school. It is a knowledge that is passed on through the basic learning cycle of watching demonstrations, listening to the explanations and practicing what has been digested” tulis Ani di halaman 9.Sebagai ibu negara, setiap kain batik yang dikenakannya bukan sekadar busana semata, tapi juga menjadi bagian dari diplomasi budaya. Andai Ibu Tien Soeharto, yang selama 32 tahun biasa mengenakan batik, mendokumentasikan batiknya dalam bentuk buku, tentu jumlah sponsornya akan jauh lebih banyak. Harga jual buku pun bisa lebih murah, atau bahkan digratiskan.
Buku tentang batik lainnya ditulis oleh Tumbu Ramelan, tanpa sponsor. Judulnya
The 20th Century Batik Masterpieces. Isinya tentu lebih detail dalam menjelaskan batik Indonesia. Maklum, dia tak cuma menjadi kolektor batik sejak remaja, tapi juga Ketua Pengembangan Budaya Yayasan Batik Indonesia.Ketertarikannya pada batik muncul sejak 1958, saat masih di bangku SMA. Namun hasratnya menjadi kolektor batik dipicu oleh kado-kado pernikahan yang diterimanya pada 1969, yang umumnya berupa kain batik. “Kado itu menjadi awal koleksi saya,” tulis Tumbu pada pengantar buku ini.
Dengan menggunakan dwibahasa Indonesia dan Inggris, Tumbu membagi bukunya dalam lima bab, yaitu “Batik from Java”, “Batik from West Java”, “Batik from Central Java”, “Batik from East Java”, dan “Batik from Sumatra”. Tentu saja, penjelasan terbanyak ada di bab tiga, Batik dari Jawa Tengah.
Foto-foto koleksi batik dari berbagai daerah antara lain hasil jepretan sang suami, Rahardi Ramelan. Di setiap foto tercantum penjelasan terperinci tentang asal batik, motif, teknik, bahan, cara pewarnaan, tahun pembuatan, hingga ukuran. Penjelasan ini membantu pembaca lebih memahami karakteristik setiap batik.
Pada bab satu, Tumbu secara komprehensif menjelaskan sejarah batik di Jawa. Tulisannya yang informatif membantu pembaca memiliki pengertian tentang batik tanpa merasa digurui.
Ia, misalnya, dengan fasih menjelaskan karakteristik batik Pasundan yang didominasi warna krem, hijau muda, dan merah muda. Perbedaan motif batik di Jawa Barat, seperti batik Garut yang dikenal dengan motif Tapak Kebo atau motif batik Indramayu, menurut dokter spesialis anestesi lulusan Rusia itu karena dipengaruhi alam sekitar. “Seperti motif udang atau ikan sebagai hasil laut dalam batik Arum,” tulisnya di halaman 37.
Tumbu, yang pernah memamerkan koleksi batiknya di Museum Tekstil Jakarta pada April tahun lalu, juga menjelaskan keistimewaan tiap-tiap jenis batik di Jawa Timur. Misalnya batik Tuban, yang memiliki keistimewaan dalam proses pembuatannya. Atau batik Tulung Agung, yang merupakan perpaduan batik Solo dan Yogya dengan motif Lereng, Truntum, dan Gringsing dengan hiasan buketan dan burung merak.
Buku ini ditutup dengan penjelasan soal batik dari Sumatera, seperti Bengkulu, Jambi, dan Palembang. Menurut dia, batik di tiga provinsi di Sumatera ini berasal dari para pedagang asal Jawa.
Andai ketiga buku tersebut terbit pada pertengahan 2009, bisa jadi klaim Malaysia tak akan menjadi kontroversi berkepanjangan di tengah masyarakat kita. Untung, klaim negeri jiran itu terpatahkan setelah Badan PBB Urusan Pendidikan dan Kebudayaan (UNESCO) menetapkan batik sebagai warisan dunia asal Indonesia.
HADRIANI P | Riska Sri Handayani, penggemar batik, alumnus Hubungan Internasional UPN Veteran, Yogyakarta.
I
Judul buku: Teknik dan Ragam Hias Batik Yogya dan Solo
Penulis: Sri Soedewi Samsi
Penerbit: Yayasan Titian Masa Depan (Tititan Foundation)
Edisi: I, Februari 2011
Tebal: 571 halaman
II
Judul buku: My Batik Story, A Silent Labor of Love
Penulis: Ani Bambang Yudhoyono
Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Edisi: 2010
Tebal: 248 halaman
III
Judul buku: The 20th Century Batik Masterpieces
Penulis: Tumbu Ramelan
Penerbit: KR Communications
Edisi: 2010
Tebal: 301 halaman