Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Mengapa Antibiotik Bisa Resisten?

image-gnews
sxc.hu
sxc.hu
Iklan
TEMPO Interaktif, Jakarta - “Sudah tidak usah ke dokter. Ini pakai resep anak saya, kemarin juga sakit batuk-pilek seperti itu. Beli saja antibiotiknya, pasti sembuh, deh,” demikian kata Titi, 30 tahun, seorang ibu rumah tangga yang memberi solusi penyembuhan penyakit kepada tetangganya.

Memang, istilah antibiotik begitu populer di lingkungan kita sehingga hampir semua penyakit tampaknya selalu menyertakan antibiotik dalam resep yang diberikan dokter. “Waktu anak-anak saya sering pilek, tiap kali ke dokter pasti diberi antibiotik, baru setelah dewasa saya tahu bahwa pilek saya itu alergi dan semestinya tidak diberi antibiotik,” kata Vira, karyawan swasta di Jakarta.

Ada lagi Dina, 27 tahun, yang mengeluhkan giginya yang tidak berwarna putih gading. “Beginilah akibat terlalu banyak dikasih antibiotik waktu kecil. Sakit sedikit, antibiotik,” ujar karyawati swasta itu menyesali.

Yang mungkin belum diketahui Titi, Vira, dan Dina, serta mungkin banyak orang lain, adalah adanya bahaya besar yang mengancam di balik kemurahan hati para dokter praktek untuk memberikan antibiotik. Bahaya yang muncul tidak sekadar gigi menjadi berwarna kuning, tapi juga munculnya resistensi antibiotik.

“Masalah penyakit infeksi di Indonesia memang masih membutuhkan banyak perhatian dan kepedulian,” kata Menteri Kesehatan Dr Endang Rahayu Sedyaningsih, MPH, Dr.PH, saat peringatan Hari Kesehatan Sedunia pekan lalu.

Tapi, menurut dia, pemberian antibiotik bukan jawaban untuk semua masalah ini. “Kita juga harus memahami bahwa resistensi antibiotik ini menunjukkan bahwa antibiotik atau solusi masalah kesehatan di masa lalu pun bisa menjadi masalah di masa kini, karena itu perlu diwaspadai.”

Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan penemuan berbagai jenis antibiotik dalam 40-50 tahun terakhir memang memberi harapan bagi banyak pasien dengan penyakit infeksi. Usaha untuk menyelamatkan hidup ini semakin sulit karena munculnya berbagai kuman yang resisten. Sebab, laju penemuan obat baru tidak sebanding dengan kemunculan kuman baru dalam 20-30 tahun terakhir.

“Sejujurnya, penemuan obat baru ,apalagi untuk mengatasi infeksi, membutuhkan biaya sangat besar. Industri farmasi tentu lebih memilih memproduksi obat penyakit non-infeksi yang lebih mahal, sehingga laju penemuan obat antimikroba baru tidak bisa memenuhi kebutuhan,” kata Prof Iwan Dwi Prahasto, guru besar farmakologi Universitas Gadjah Mada, yang menjadi salah satu narasumber seminar dalam rangkaian acara HKS 2011.

Sementara itu, Sri Indrawaty, Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan, dalam temu media di Perusahaan Farmasi Indofarma di Cibitung, akhir Maret lalu, mengatakan, “Data di negara berkembang menunjukkan bahwa 40 persen anak-anak dengan diare akut mendapatkan oralit dan antibiotik. Semestinya itu tidak diberikan. Hanya 50-70 persen penderita pneumonia mendapatkan terapi antibiotik secara tepat.”

Sudah banyak ditemukan beberapa kuman yang resisten atau kebal terhadap antibiotik di seluruh dunia. Misalnya kasus yang paling populer adalah metichilin resistant staphylococcus aureus (MRSA), vancomycin resistant enterococci (VRE), dan klebsiella pneumoniae.

Bukan hanya pemberian antibiotik pada orang dewasa yang mesti dipikirkan lagi secara matang, pemberian puyer antibiotik pada anak-anak pun mesti mendapat perhatian. Pada penelitian tentang pola pemberian resep pada anak yang dilakukan spesialis kesehatan anak, Dr Purnamawati S. Pujiarto, pendiri Yayasan Orang Tua Peduli, bersama Dr Arifianto pada 2006-2007, lebih dari 50 persen pemberian resep obat dilakukan tidak semestinya.

Kerja sama dokter dan pasien untuk menggunakan antibiotik secara rasional adalah hal yang tak bisa ditawar lagi. “Sebab, jika tidak, lambat laun kita akan tiba pada keadaan seperti saat antibiotik belum ditemukan,” kata Dr Samlee Plianbanchang, Direktur Regional WHO untuk Asia Tenggara (SEARO).

Memang, untuk beberapa penyakit, ada rangkaian pengobatan antibiotik lini kedua dan ketiga. Tapi ini memakan biaya sangat tinggi, kegagalan pengobatan dan kematian juga lebih berisiko tinggi. Belum lagi antimicrobial lini kedua dan ketiga ini kadar racunnya lebih tinggi, sehingga dampak kesakitan bagi pasien jadi lebih panjang. Maka kepatuhan pasien untuk meneruskan pengobatan juga lebih lama.

Selain memberikan pemahaman baru bagi para tenaga medis untuk lebih berhati-hati memberikan antibiotik dan memberikannya secara rasional, perlu dipikirkan juga pengelolaan antibiotik yang telanjur dimiliki masyarakat, tapi tidak dihabiskan. Prof Iwan mengatakan hampir di tiap rumah tangga bisa ditemukan sisa antibiotik yang tidak habis dari anggota keluarga yang pernah sakit.

“Itu juga masalah lain, kita, Indonesia belum punya mekanisme dan regulasi bagi pasien untuk obat antibiotik yang tersisa di rumah, menghancurkannya sembarangan jelas bisa membahayakan lingkungan. Di negara-negara barat, biasanya antibiotik yang tidak lagi digunakan diwajibkan diserahkan ke pusat penampungan di rumah sakit untuk dimusnahkan dengan cara-cara pemusnahan antimikroba yang benar,” kata Iwan.
| UTAMI WIDOWATI

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


7 Manfaat Makan Buah Semangka bagi Kesehatan Tubuh

3 hari lalu

Ilustrasi Semangka
7 Manfaat Makan Buah Semangka bagi Kesehatan Tubuh

Semangka menjadi buah yang pas sebagai pilihan di bulan Ramadhan. Pada kondisi tubuh yang mengalami dehidrasi, buah ini menjaga kesehatan dan keseimbangan nutrisi.


Benarkah Kolesterol Tinggi Bisa Menimbulkan Rasa lelah?

5 hari lalu

Ilustrasi kolesterol. Shutterstock
Benarkah Kolesterol Tinggi Bisa Menimbulkan Rasa lelah?

Tingginya tingkat kolesterol biasanya dibarengi dengan gejala yang meningkatkan risiko penyakit jantung, stroke, dan masalah kesehatan lainnya.


5 Manfaat Minum Air Kelapa Hijau saat Berbuka Puasa

9 hari lalu

Ilustrasi kelapa muda (Pixabay.com)
5 Manfaat Minum Air Kelapa Hijau saat Berbuka Puasa

Tidak hanya segar, air kelapa hijau juga memiliki sejumlah manfaat yang signifikan bagi kesehatan tubuh.


6 Bahaya Konsumsi Santan secara Berlebihan

10 hari lalu

Ilustrasi santan kelapa. shutterstock.com
6 Bahaya Konsumsi Santan secara Berlebihan

Penting untuk menyadari bahwa santan juga memiliki sejumlah bahaya yang perlu diwaspadai, terutama jika dikonsumsi secara berlebihan.


Penelitian Menunjukkan: Banyak Penyakit yang Bisa Timbul karena Kurang Tidur

12 hari lalu

Ilustrasi tidur. Pixabay
Penelitian Menunjukkan: Banyak Penyakit yang Bisa Timbul karena Kurang Tidur

Kekurangan waktu tidur akan menyebabkan tubuh seseorang mengalami beberapa masalah. Apa saja?


5 Manfaat Mengurangi Konsumsi Gula bagi Tubuh

13 hari lalu

Ilustrasi gula di dalam wadah. Foto: Freepik.com
5 Manfaat Mengurangi Konsumsi Gula bagi Tubuh

Mengurangi konsumsi gula dapat memberikan dampak yang baik untuk tubuh. Apa saja?


Ketahui Suhu AC untuk Bayi yang Ideal Berdasarkan Usianya

16 hari lalu

Suhu AC untuk bayi perlu disesuaikan sesuai dengan usianya. Hal ini agar suhu tidak terlalu dingin atau panas. Berikut ini informasinya. Foto: Canva
Ketahui Suhu AC untuk Bayi yang Ideal Berdasarkan Usianya

Suhu AC untuk bayi perlu disesuaikan sesuai dengan usianya. Hal ini agar suhu tidak terlalu dingin atau panas. Berikut ini informasinya.


5 Manfaat Makan Pepaya

16 hari lalu

Ilustrasi buah pepaya. Unsplash.com/Pranjall Kumar
5 Manfaat Makan Pepaya

Pepaya mengandung berbagai nutrisi dan bermanfaat bagi kesehatan. Apa saja?


Bolehkah Makan Gorengan Saat Berbuka Puasa? Ini Penjelasannya

16 hari lalu

Bolehkah makan gorengan saat berbuka puasa? Jawabannya adalah boleh, namun tetap mempertimbangkan asupannya. Ini penjelasan lengkapnya. Foto: Canva
Bolehkah Makan Gorengan Saat Berbuka Puasa? Ini Penjelasannya

Bolehkah makan gorengan saat berbuka puasa? Jawabannya adalah boleh, namun tetap mempertimbangkan asupannya. Ini penjelasan lengkapnya.


Benarkah Olahraga Berlebihan Bisa Menyebabkan Disfungsi Ereksi?

21 hari lalu

ilustrasi olahraga treadmill (pixabay.com)
Benarkah Olahraga Berlebihan Bisa Menyebabkan Disfungsi Ereksi?

Meski dapat meningkatkan risiko kesehatan tertentu, namun olahraga berlebihan tidak menyebabkan impoten atau disfungsi ereksi (DE).