TEMPO Interaktif, Aiko pulang ke rumah dengan suara tangisan histeris. Rica, sang mama, mendapati putrinya yang berusia 11 tahun dan duduk di kelas V sekolah dasar itu pulang dengan tangisan histeris.
"Setelah Aiko menuturkan peristiwa yang dialaminya, ternyata dia mengalami pubertas. Tadi, di sekolah, dia diledek semua teman ketika mendapati rok putih sekolahnya belepotan darah di mana-mana," kata Rica.
Lain lagi dengan pengalaman Nur, yang sempat kaget ketika Rian, 12 tahun, putra sulungnya yang duduk di kelas VII sekolah menengah pertama, beberapa malam lalu sempat memeluk, mencium, dan mencumbunya layaknya bersama pasangan.
"Rian tidur sekamar dengan saya karena rumah kami kecil. Setelah saya mencari tahu, ternyata Rian mengalami mimpi basah dan pubertas. Kini sebuah gudang kecil saya bersihkan untuk dipakai sebagai kamarnya," tutur Nur, yang khawatir Rian akan mencumbu adiknya, Rani, 10 tahun.
Menurut seksolog Boyke Dian, banyak orang tua, sekolah, serta lingkungan yang bimbang dan panik ketika mendapati buah hati atau putra-putri mereka mengalami pubertas. "Padahal pubertas adalah proses alamiah dan wajar. Jadi tak perlu bimbang atau panik. Yang penting, orang tua, sekolah, dan lingkungan memahami soal ini dengan baik," ujarnya.
Tanda-tanda pubertas muncul secara bertahap. Tapi banyak orang tua tidak menyadari, bahkan tak tahu, bahwa buah hati mereka telah mengalami perubahan itu. "Pengalaman Aiko dan Rian adalah bukti si anak panik serta bimbang saat tubuh dan psikisnya berubah. Sebaiknya orang tua menyikapi, mendampingi, dan memberi pemahaman soal ini," kata Boyke.
Pubertas adalah masa transisi antara anak-anak dan dewasa. Seiring menginjak usia pubertas, anak akan mengalami perubahan fisik dan psikologis. Pubertas ini juga menjadi proses perkembangan anak perempuan atau laki-laki berkaitan dengan kematangan seksual.
"Banyak yang menilai pubertas hanya proses normal yang sebaiknya tidak perlu dikhawatirkan," ujar dokter Aditya Suryansyah, SpA, dari RSAB Harapan Kita, saat ditemui dalam bedah buku dan peluncuran buku berjudul Panik Saat Puber? Say No!!! beberapa waktu lalu di Pacific Place, Jakarta.
Dia menerangkan, masa awal pubertas bervariasi pada setiap individu. Pada anak perempuan, dimulai pada kisaran usia 8-14 tahun. Sedangkan pada anak laki-laki lebih lambat, yakni 9-14 tahun.
Hal ini dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti nutrisi, lingkungan, etnis, keadaan sosial, psikologis, dan aktivitas. Dia menambahkan, makin banyaknya asupan makanan junk food yang mengandung hormon juga akan mempercepat proses pubertas.
Secara umum, saat pubertas pada anak datang, akan muncul perubahan fisik, seperti tinggi dan berat badan meningkat dengan cepat. Demikian pula perubahan hormonal, dengan munculnya tanda sekunder seksual akibat peningkatan hormon testosteron dan hormon estrogen.
Menstruasi adalah akhir proses pubertas pada anak perempuan dan demikian pula dengan mimpi basah pada anak laki-laki. Biasanya akan muncul dua tahun setelah awal masa pubertas.
Buku ini menjelaskan, masa pubertas merupakan proses yang sering kali tidak berjalan mulus dan timbul masalah. Tidak jarang muncul masalah dengan kelainan, seperti mikropenis, sindrom turner, down syndrome, AIS, dan pubertas dini. Kemudian ada pula gangguan hormon pubertas, seperti pubertas prekoks, perawakan pendek, dan pubertas terlambat.
Aditya mengatakan, sayangnya pubertas tidak menjadi perhatian orang tua. Jarang mereka (orang tua) mengerti kapan waktu awal tanda pubertas muncul dan hanya menilai sisi negatif anak yang mengalami perubahan perilaku karena mengalami pubertas.
Misalnya, karena pengaruh kelompok, anak jadi ikut-ikutan merokok, memakai narkoba, dan nakal. Sering muncul gangguan psikologis yang sering tak dimengerti orang tua.
Dia mencontohkan, anak yang sakit diberi saja obat oleh orang tuanya. "Ketika saya tanya, dia menangis, mengaku sedang jatuh cinta. Eh, bisa sembuh tanpa obat. Psikosomatik seperti ini yang juga sering luput," ujarnya.
Perubahan psikologis itu akan membuat anak cemas, bimbang, panik, takut, minder, dan mengalami gangguan psikologis lainnya. Louise Maspaitella, psikolog klinis keluarga RSAB Harapan Kita, mengatakan, pada saat pubertas ini, orang tua memegang kendali utama yang harus mengetahui tanda-tanda pubertas itu dan menjelaskan kepada mereka.
"Kalau orang tua tidak mengkomunikasikannya, anak akan lari keluar kepada teman terdekat atau kelompok yang belum tentu positif untuk mendapatkan pendidikan hal ini," kata Louise.
Dia mengingatkan, orang tua sebaiknya bisa lebih demokratis, komunikatif, dan menjadi sahabat anak. Contohnya, ketika memberi tahu saat muncul tanda pubertas dan menstruasi, anak perempuan disarankan bicara dengan ibunya. Dan, ketika anak laki-laki mengalami mimpi basah, ayah diharapkan mendampinginya. Dalam masa pubertas ini, jika anak tak mendapat informasi yang jelas, dia akan mudah terpengaruh oleh lingkungan sekitarnya.
DIAN YULIASTUTI | HADRIANI P