TEMPO Interaktif, Jakarta - "Roda-roda kereta bergerak meninggalkan stasiun.
Mereka sudah pergi. Amat jauh dari kami.
Kenangan tak terlupakan selama perjalanan ke stasiun.
Walau sudah berlalu satu tahun, semua nampak segar dan jelas
dalam ingatanku."
Jepara, 8-9 Agustus 1901.
Kalimat-kalimat indah di atas dinukilkan dari tulisan Raden Ayu Kartini setelah selama 24 jam bercengkerama dengan Direktur Urusan Pengajaran Hindia Belanda Abendanon Mandri dan istrinya, Rosa Manuela Abendanon Mandri. Putri Bupati Jepara itu bungah ketika sahabat korespondensinya tersebut menyambanginya di Kabupaten Jepara. Kebersamaan itu berlanjut saat ia mengantarkan keduanya pulang melintasi Stasiun Pati, Kudus, yang berakhir di Semarang.
Seolah ingin merekonstruksi momen bersejarah itu, Yayasan Warna Warni menggelar acara pergelaran busana yang mengambil tema "Kartini dan Kereta Api". Acara memperingati hari kelahiran Kartini itu berlangsung pada Sabtu pekan lalu di Stasiun Kereta Tanjung Priok, Ancol, Jakarta Utara, yang merupakan bangunan cagar budaya yang dibangun pada 1914.
Di era hidup Kartini (1879-1904), industri kereta api Hindia Belanda bertumbuh. "Jaringan kereta api saat Kartini (hidup) sudah maju," kata Krisnina Maharani, Ketua Yayasan Warna Warni. Antara kereta api dan kartini ada persamaan makna. Industri kereta api menjadi simbol infrastruktur modern. Adapun Kartini adalah perempuan hebat berpikiran progresif yang merintis kemajuan Indonesia.
Di dalam bangunan berlanggam art deco yang diarsiteki C.W. Koch, insinyur utama Staats Spoorwagen, perusahaan kereta api Hindia Belanda, model-model berlengak-lenggok memperagakan busana batik dan kebaya dari pabrikan batik kelas atas di Solo: Danar Hadi dan Milla House.
Suasana tempo dulu kian terasa kuat lantaran orkes keroncong mengiringi langkah-langkah para model. Lagu Juwita Malam gubahan maestro musik Ismail Marzuki terdengar mengalun.
Danar Hadi, yang menjadi trend-setter perbatikan di Solo, menampilkan rancangan Ainun Hadi dan Hutama Adhi. Pergelaran diawali dengan koleksi kebaya modern berbahan tenun dikombinasikan pareo berbahan sutra. Danar Hadi, yang berdiri pada 1967, tetap dengan ciri khasnya: menampilkan batik-batik berwarna kontras. Elegan dan mewah.
Batik yang diperagakan empat model ini adalah batik tulis berbahan sutra alam, sutra alat tenun bukan mesin, dan sutra organdi. Produk unggulan ini membuat pemakainya terlihat elegan. Motifnya beragam, dari batik Cina yang kaya akan ornamen oriental, seperti ular, singa, dan naga; batik Jawa Hokokai yang menampilkan warna-warna cerah berlatar motif parang dan bunga-bunga; hingga modifikasi agar lebih segar dan modern.
Semangat retro paling jelas terlihat pada koleksi kebaya krancang encim dari Milla House. Emma Amalia Agus Bisrie, sang perancang yang juga dikenal sebagai tokoh masyarakat Betawi, menggelar koleksi batik dan kebaya Betawi yang banyak dipengaruhi kebudayaan Cina dan Belanda. Ini terlihat pada penggunaan bordir krancang (bolong-bolong) di tepian kebaya. Sejenak kita seperti terlempar ke masa Betawi tempo dulu di rumah-rumah saudagar Cina Betawi. Untuk kainnya, ia menggunakan batik Cirebon, yang juga banyak dipengaruhi unsur Cina.
Emma lebih suka menggunakan bahan kebaya dari voal, rubia, paris, dan row silk. Sentuhan modern tetap hadir dari penggunaan mute dari setiap rancangannya yang berwarna pastel itu. "Sudah saya modifikasi dari kebaya klasik," katanya. l ISTIQOMATUL HAYATI