TEMPO Interaktif, Jakarta - Menurut para ilmuwan, obsesi kita terhadap kebersihan dapat dikaitkan dengan peningkatan tingkat depresi.
Mereka percaya bahwa menghilangkan bakteri dan virus telah benar-benar membuat sistem kekebalan tubuh kita melemah dan hal ini pada gilirannya telah memengaruhi fungsi otak kita.
Para ilmuwan telah lama menyalahkan lingkungan kita yang terlalu steril atas peningkatan asma dan alergi. Mereka mengatakan beberapa bakteri diperlukan untuk memperkuat sistem kekebalan tubuh kita dan tanpa mereka tubuh kita bereaksi berlebihan terhadap debu dan serbuk sari yang mengakibatkan alergi.
Peneliti saat ini percaya bahwa reaksi berlebihan ini juga dapat mengganggu kemampuan otak untuk menghasilkan bahan kimia tertentu yang membuat kita bahagia, seperti serotonin, dan ini menyebabkan depresi.
Mereka menunjukkan bahwa tingkat depresi jauh lebih tinggi di dunia barat dibandingkan dengan negara-negara miskin karena sistem kekebalan tubuh mereka kurang terlatih untuk mengatasi bakteri.
Sekitar satu dari sepuluh orang Inggris menderita depresi dibandingkan dengan hanya satu dalam seratus di Nigeria, misalnya.
Para peneliti di Atlanta, Georgia, telah mempelajari bagaimana reaksi berlebihan ini (peradangan) memengaruhi otak dengan merekrut 27 pasien yang memakai obat untuk mengobati hepatitis C yang menyebabkan reaksi serupa.
Mereka percaya reaksi tertentu dapat memengaruhi kemampuan otak untuk menghasilkan bahan kimia tertentu, termasuk serotonin yang dikenal sebagai "hormon kebahagiaan".
Dr. Andrew Miller, salah satu ilmuwan, mengatakan, "Kami percaya bahwa sistem kekebalan tubuh menyebabkan depresi. Saat orang berkembang dan tumbuh dewasa, sistem kekebalan tubuh mereka berkembang. Jika mereka lebih banyak terkena bakteri dan parasit, mereka dapat lebih baik mengendalikan peradangan."
"Saat ini lingkungan manusia jauh lebih bersih dan higienis sehingga sistem kekebalan tubuh kita tidak pernah benar-benar belajar bagaimana berurusan dengan agen infeksi. Kita terlalu aktif karena sistem kekebalan tubuh kita belum terlatih."
Para peneliti itu, yang penelitiannya dipublikasikan dalam jurnal Molecular Pyschiatry, saat ini menguji apakah obat anti peradangan dapat digunakan untuk mengobati depresi.
DAILY MAIL | ERWIN Z.