TEMPO Interaktif,
Jakarta - Maryam, 45 tahun, kini bisa menjalankan aktivitasnya menyiangi rumput dan memanen sayur di kebunnya. Beberapa waktu yang lalu, perempuan ini sempat tergolek lemah karena gigitan nyamuk Anofeles. Gigitan itu membuatnya lemah, sakit kepala, dan menggigil. Dia pun tak berselera makan, mual, bahkan jika makan malah muntah.
Warga Desa Bakem Sungailiat, Bangka Belitung, ini lantas dibawa ke puskesmas terdekat dan dinyatakan positif terjangkit malaria. Setelah mendapat pengobatan di puskesmas dan rawat jalan, kini dia dinyatakan sembuh.
"Obat sudah saya minum sesuai aturan dan saya tidur dengan kelambu yang diberikan puskesmas juga. Nyamuk pagi-pagi sudah rontok," ujar Maryam kepada wartawan di sela konferensi pers di Kementerian Kesehatan, Kamis pekan lalu.
Maryam adalah satu dari ribuan penderita malaria yang prevalensinya masih tinggi di Indonesia. Data Kementerian menyebutkan pada 2010 jumlah penderita malaria mencapai lebih dari 200 ribu orang dengan angka kematian lebih dari 900 orang.
Meski masih terbilang tinggi, situasi malaria di Indonesia dari angka Annual Parasite Incidence (API) tahun lalu menurun. "Sudah jauh menurun dibanding beberapa tahun lalu, dari 4,5 menjadi 1,96," ujar dr. Tjandra Yoga Adhitama, Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan, saat acara peringatan Hari Malaria Sedunia.
Yoga menjelaskan saat ini terdapat beberapa jenis parasit Plasmodium yang menyebabkan malaria, yakni Plasmodium falciparum, Plasmodium vivax, Plasmodium ovale, dan Plasmodium malariae.
Tapi, ada strain yang baru ditemukan, yaitu Plasmodium knowlesi. Parasit penyebab malaria terbaru ini ditemukan dari monyet ekor panjang dan orang utan yang menulari manusia. Plasmodium knowlesi ditemukan di Kalimantan Selatan.
Pemerintah, kata Yoga, masih memberi perhatian penuh terhadap daerah Maluku, Nusa Tenggara, Papua, dan Kalimantan. Sebab, jumlah kasus malaria di wilayah tersebut masih tinggi.
Seperti yang menimpa Maryam, gejala klinis penyakit ini diawali dengan demam, menggigil, hingga berkeringat. Gejala lainnya adalah sakit kepala, mual, muntah, diare, nyeri otot, dan pegal-pegal.
Pemerintah kini telah menghentikan pengobatan dengan Chloroquine karena sudah kebal. Sebagai penggantinya, pemerintah membuat kebijakan pengobatan dengan Artemisinin Combination Therapy (ACT). Sayangnya, bahan pengobatan ini masih didatangkan dari Cina.
Direktur Pemberantasan Penyakit Bersumber Binatang, Dr. Rita Kusriastuti, MSc., mengatakan kebijakan pemerintah saat ini memang menuju eliminasi malaria. Oleh karena itu, pemerintah menjamin ketersediaan obat tersebut sesuai dengan ketentuan WHO.
Selain itu, pemerintah bisa meminta rumah sakit swasta meresepkan obat ini. Biaya ACT diakui memang lebih mahal dari Chloroquine. Pemerintah kini masih memikirkan mekanisme untuk mereka yang mampu membeli. "Tapi, obat ini gratis untuk yang tidak mampu. Ada di puskesmas dan rumah sakit," ujar Rita kepada Tempo.
Rita mengatakan penggunaan obat dari ACT tidak boleh sembarangan dan harus dikontrol secara ketat. "Supaya tidak menambah resistensi," ujarnya. Selain menggunakan ACT, pasien dianjurkan mengkombinasikan pengobatannya dengan Primaquine. Untuk meminumnya, penderita harus betul-betul memenuhi aturan pakai. Rita mencontohkan jika untuk malaria Plasmodium falciparum, obat harus diminum satu hari. Sementara, untuk Plasmodium vivax harus diminum selama 14 hari penuh. "Harus full untuk memutuskan parasit ini," ujarnya.
Penggunaan Kina sebagai obat malaria, menurut Rita, masih sangat ampuh. Namun, saat ini pemerintah berusaha mencari penggunaan selain Kina, yakni ACT. ACT diperkirakan suatu saat akan resisten sehingga Kina menjadi alternatif. "Kami masih mengirit-irit Kina sebagai senjata pamungkas. Dengan ACT, harapannya nyamuk lupa sama Kina," ujarnya.
Rita mengatakan saat ini varian ACT cukup banyak. Tapi, saat ini baru dua varian yang digunakan sehingga jika dua varian ACT ini sudah resisten, masih ada banyak varian lain yang bisa dipakai.
dr. Emilliana Tjitra, MSc., PhD., dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan mengatakan pengobatan malaria kini menggunakan kombinasi. Ada beberapa varian obat yang dipakai, yakni Amodiaquine, Primaquine, Mefloquine, dan Halofantrin.
"Chloroquine memang sudah ditinggalkan. Antifotlat juga karena dilaporkan resistensi di mana-mana," ujar Emilliana. Artesunat Amodiakuin dan Artemesinin Lumefantrin dilaporkan sudah resisten dan kurang efektif dalam memberantas parasit Plasmodium. Oleh karena itu, pemerintah merekomendasikan kombinasi Artemesinin.
Menurut dia, resistensi bisa terjadi karena parasit bertahan hidup atau malah berkembang biak walaupun sudah diobati dengan obat yang sama atau direkomendasikan dengan menyesuaikan kondisi pasien. Resistensi ini, menurut Emilliana, bisa berdampak pada penyebaran malaria, potensi kejadian luar biasa, masa rawat lebih panjang, dan lainnya.
Dalam acara seminar peringatan Hari Malaria Sedunia, Emilliana mengatakan pengobatan yang gagal bisa terjadi bila parasit resisten, obat tidak efektif, resep obat tidak adekuat, dan buruknya kepatuhan penderita dalam minum obat. Menurut dia, penderita bisa terkena infeksi berkali-kali jika dia hidup di daerah hiperendemik atau penularan tinggi. Dan hal ini hanya bisa dilihat melalui tes laboratorium.
"Jika pasien sudah kambuh lagi, bisa dilihat apakah obatnya sudah benar, dosisnya, pemberiannya, keadaan pasien, dan kepatuhannya," ujar Emilliana.
Rita juga menyebutkan bahwa saat ini untuk memutuskan seseorang dari infeksi malaria tidak hanya bisa melihat melalui keluhan klinis, tapi juga penelitian di laboratorium. Dia pun meminta agar obat ACT diminum sesuai dengan aturan. "Harus diminum habis, apalagi jika dikombinasi dengan Primaquine," ujarnya.
DIAN YULIASTUTI