TEMPO Interaktif, Jakarta - Melahirkan buah hati, apalagi dengan cara normal, tentu membuat para ibu bahagia. Pengalaman melahirkan acap kali menjadi alasan pelengkap kebahagiaan perempuan. Di balik kebahagiaan itu ternyata ada sesuatu yang mengintai, mulai kecacatan hingga ancaman kematian.
Seperti yang dialami Rahmania, 28 tahun, yang sedikit trauma saat melahirkan putri pertamanya. Dia harus merasakan sakit selama 22 jam sebelum sang putri lahir ke dunia. Si buah hati lahir dengan bobot 3,3 kilogram dengan persalinan normal dan dia pun mendapat beberapa jahitan.
"Wah, berapa jahitan aku lupa, yang dirasain sakit yang tak terkira. Benar-benar taruhan nyawa," ujarnya pada Tempo baru-baru ini.
Kini, setelah tujuh bulan kelahiran berlalu, dia mengaku masih terbayang rasa sakit saat melahirkan. Tapi, jahitan di jalan lahir anaknya sudah tak terlihat lagi. "Sudah aman," ujarnya.
Dua cara persalinan menjadi pilihan para perempuan, yakni normal melalui vagina atau caesar. Persalinan melalui vagina dinilai lebih aman dibanding secara caesar, dengan risiko kematian lima kali lebih tinggi. Namun, persalinan melalui vagina ini rupanya dapat menyebabkan kecacatan dasar panggul (prolaps organ panggul/POP).
"POP ini terjadi akibat persalinan, di mana terjadi robekan, penggunaan alat bantu melahirkan, serta lamanya waktu persalinan," ujar dr. Budi Iman Santoso, SpOG(K)., Ketua Departemen Obstetrik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo.
Budi menjelaskan prolaps ini diartikan sebagai turun atau keluarnya dinding vagina disertai organ panggul ke dalam atau keluar liang vagina. POP ini dulu juga disebut hernia, seperti pada laki-laki. Pada perempuan, organ dalam ini keluar dari vagina. Sekitar 50 persen perempuan yang telah melahirkan diperkirakan mengalami prolaps, mulai yang ringan sampai berat.
"Tidak menyebabkan kematian, tapi kalau tidak dicegah atau diobati bisa menurunkan kualitas hidup perempuan dan mengganggu hubungan suami-istri," ujar Budi.
Prof. dr. Junizaf, SpOG(K)., dari Divisi Uroginekologi Departemen Obstetri dan Ginekologi FKUI mengatakan ada banyak faktor yang menyebabkan POP, seperti sering melahirkan, proses persalinan lama, obesitas, ukuran bayi yang terlalu besar, induksi persalinan, terjadi robekan stadium III atau IV saat melahirkan, serta lamanya ras dan genetika. Ada juga karena bertambahnya usia dan kelainan sifat jaringan, menopause, merokok, serta keadaan yang menyebabkan tekanan intrarahim.
Dia menyebutkan dalam lima tahun terakhir, terjadi 9-17 kasus inkontinensia urine atau kencing tak terkendali. Sementara itu, di RSCM disebutkan terjadi 47-67 kasus operasi POP setiap tahunnya. Di Jakarta, pada 2005 dilaporkan 260 kasus. POP juga dilaporkan terjadi di Bali, Pekanbaru, Medan, Bandung, dan 20 persen di antaranya ditangani dengan operasi.
Lantas, bagaimana kita mengetahui gejala prolaps? Oleh karena, prolaps ini kadang tidak begitu terlihat, beberapa penderita mengeluhkan adanya tonjolan, tekanan, atau sensasi berat pada vagina saat buang air besar. Mereka juga bisa merasa seperti sedang menduduki bola (vagina terasa berat). Ada pula gejala yang merepotkan, seperti kesulitan buang air besar atau konstipasi.
"Atau mungkin kesulitan saat buang air kecil karena harus mengangkat vagina yang menonjol atau rahimnya yang keluar lebih dulu," ujar dr. Junizaf sambil memperlihatkan foto rahim yang melorot keluar dan membuat bergidik.
Gejala lainnya adalah perdarahan, susah berjalan, dan gangguan saat berhubungan intim. Menurut dia, jika kondisi otot dasar panggul bagus, vagina akan menciut. Tapi, jika cacat, akan melebar dan membuat organ dalam turun.
Junizaf juga menjelaskan bahwa beberapa klasifikasi POP merujuk pada sistem Baden Walker. Stadium I jika bagian prolapsus masih di atas introitus vagina, stadium II jika bagian prolapsus sudah mencapai introitus vagina (sudah sampai pintu selaput dara), stadium III bila bagian prolapsus sudah keluar dari introitus vagina (sudah keluar vagina), serta stadium IV prosidensia (rahim dan dinding vagina telah keluar). Sayangnya, stadium I-II sering tidak terlalu dikeluhkan oleh penderita.
Untuk penanganan, biasanya pada stadium I-II dilakukan tindakan konservatif dan dianjurkan untuk kontrol. Di negara maju, hal ini lebih mudah terdeteksi karena kebanyakan perempuan melakukan pap smear.
Sementara itu, jika sudah stadium III-IV, biasanya dokter akan mengambil tindakan operasi. Pada perempuan usia lanjut biasanya juga dilakukan operasi dan pemberian hormonal.
Perempuan kadang merasa malu atau tidak mau memeriksakan keadaannya jika mengalami gejala di atas. Menurut Junizaf, para perempuan sering menganggap hal itu wajar sebagai risiko melahirkan. Untuk mendeteksinya, dia menganjurkan agar dilakukan pemeriksaan fisik, USG tiga dan empat dimensi, serta magnetic resonance imaging.
Untuk mencegahnya, Junizaf mengimbau para perempuan tidak terlampau sering melahirkan. "Karena berakibat melemahkan otot dan sendi penyokong alat reproduksi perempuan," ujarnya.
Dia pun menyarankan agar saat proses melahirkan, mereka tidak mengejan terlalu lama. Para perempuan juga diminta tidak terlalu gemuk atau obesitas. Mereka juga dianjurkan tidak mengangkat beban yang terlalu berat. Selain itu, senam kegel atau senam otot panggul juga dinilai sangat membantu menguatkan otot tersebut.
Baik Junizaf maupun Budi berencana melakukan metode pemberian skor untuk pencegahan. Metode ini butuh dukungan tentang komplikasi, infeksi, serta USG dasar panggul. USG inilah yang membantu mengetahui organ panggul untuk menentukan proses persalinan bisa normal atau tidak.
DIAN YULIASTUTI