TEMPO Interaktif, Jakarta - Siapa sangka Anto--sebut saja begitu--yang semula patuh kepada orang tuanya, berani melakukan kebohongan. Padahal, orang tuanya yang kaya sudah memenuhi segala keperluan dia untuk kuliah. Anto terlihat lebih pendiam dan menjauhi keluarga. Ia pun lebih sering meminta uang kepada ibu dan ayahnya. Waktu pun berlalu, hingga empat tahun kemudian orang tuanya baru mengetahui bawa sang anak terpikat oleh ajaran Negara Islam Indonesia.
"Orang tuanya sudah mengeluarkan Rp 2 miliaran untuk anak itu selama empat tahun," ujar Mardigu Wowiek Prasantyo, psikolog dan ahli hipnoterapi yang menangani Anto, kepada Tempo pekan lalu. Anto hanyalah satu dari 50-an remaja dan pemuda yang menjadi pasien Mardigu. Ia mengatakan dalam enam bulan, terutama beberapa waktu terakhir, jumlah pasien yang dicuci otak model NII ini meningkat.
Menurut Mardigu, sasaran cuci otak ini lebih mengarah kepada anak-anak muda. Umumnya berusia 15-25 tahun. Gambaran ini cocok dengan para tersangka terorisme yang sudah ditangkap atau tewas dalam usia 16-30 tahun. "Mereka mencari usia sugestif. Pada usia ini, mereka sedang cari jati diri dan gampang dipengaruhi," ujarnya.
Lantas, bagaimana cara mereka mencuci otak korbannya? Dengan menyentuh aspek psikologis targetnya, pelaku akan melakukan metode hipnoterapi dengan teknik flooding atau membanjiri seseorang dengan banyak fakta secara terus-menerus.
Memang tidak dalam waktu sekejap, tapi biasanya pelaku akan mendekati korbannya. Pelaku akan melakukan pendekatan untuk sekadar diskusi ringan secara bertahap guna memengaruhi sang target. Dalam kasus NII ini, kata Mardigu, setelah target masuk kendali, mereka akan disodori dan dibanjiri fakta tentang agama dan Al-Quran. Target yang mulai terpikat akan diajak bicara soal investasi dengan alasan investasi dunia-akhirat. Inilah pintu masuk target untuk mulai menyetor "infak" kepada pelaku.
Baca Juga:
Dalam melakukan cuci otak ini memang dibutuhkan kondisi khusus. Terutama terhadap orang-orang yang berfokus pada sesuatu atau pikirannya sedang kosong. Mardigu mengatakan dalam kondisi normal, gelombang otak seseorang berada dalam 17-24 siklus per detik.
Hipnoterapis Dewi Yogo Pratomo juga mengatakan selama empat tahun menangani 11 pasien bekas korban NII serta beberapa aliran organisasi lain, seperti Pondok Rosul dan Madaniah. Mereka umumnya berasal dari kalangan terdidik di berbagai universitas, seperti Universitas Parahyangan, Institut Teknologi Bandung, dan Institut Pertanian Bogor.
Para pasien ini, kata Dewi, seperti robot ketika pertama kali datang. "Pelaku cuci otak melakukan indoktrinasi di ruang tertentu dan menggunakan pendekatan holistik, merangsang lima pancaindra target secara berulang-ulang," katanya. Untuk menyembuhkannya, biasanya Dewi akan membalikkan informasi hingga mencapai titik balik. Ia akan melakukan metode jangkar atau perisai guna memberikan sugesti dan perlindungan kepada keluarga korban.
DIAN YULIASTUTI