TEMPO Interaktif, Sepintas wajah Shinta Ramadani tak menggambarkan usianya. Bahkan, banyak orang mengira dia masih seusia anak SMP atau SMA. Ketika menyebutkan angka 21, hadirin di Gedung Prodia Tower baru mafhum, Shinta memang satu dari penderita talasemia mayor.
Seperti penderita talasemia lain, Shinta pun mempunyai ciri-ciri yang hampir sama. Bentuk mukanya mirip penderita lain. Dunia kedokteran menyebutnya Cooley's face, ada juga bentuk splenomegali dan hepatomegali. Kulitnya juga menghitam.
Apa yang terlihat pada tubuh Shinta ini hanya sebagian ciri penderita penyakit yang juga disebut Mediterranean Cooley's Anemia. Menurut Elva Aprilia Nasution, Product Specialist Prodia, pada penderita talasemia ini tulang muka membesar, dahi menonjol, jarak di antara kedua mata jauh, dan tulang pipi menonjol.
Selain perubahan bentuk muka, biasanya mata kekuningan, limpa membesar, kulit kehitaman, serta pertumbuhan dan penyerapan gizinya kadang-kadang terganggu.
Menurut Eva, para penderita juga harus selalu melakukan transfusi darah setiap bulan untuk memenuhi kebutuhan darah di dalam tubuhnya. Anak yang memiliki talasemia mayor tidak dapat membentuk hemoglobin yang cukup dalam darah mereka. "Mereka butuh transfusi darah seumur hidupnya," ujar Elva dalam press briefing "Satukan Cinta Kendalikan Thalassaemia" di Prodia Tower pada 4 Mei lalu.
Dr. dr. Djumhana Atmakusuma, SpPD, KHOM, ahli hematologi onkologi dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, membenarkan bahwa penderita talasemia mayor seumur hidupnya bergantung pada transfusi darah dan iron chelator atau alat untuk membuang zat besi. "Pada keadaan iron chelator tertentu diberi kombinasi oral atau suntikan," kata Djumhana melalui pesan pendek.
Pengobatan terakhir pada penyakit ini melalui terapi iron overload (muatan besi berlebih) akibat penyerapan besi meningkat di usus dan akibat transfusi yang sering atau berulang. Terapi ini mengakibatkan iron toxicity ke lever, jantung, kelenjar endokrin, dan kulit.
Untuk pencegahan, diberikan obat iron chelator (suntikan/oral) dan antioksidan. Talasemia ini merupakan penyakit genetis karena kelainan darah. Penyakit ini banyak terdapat di negara mana pun, khususnya dari Laut Tengah, Timur Tengah, atau Asia. Penyakit ini jarang ditemukan pada orang dari Eropa Utara.
Terdapat dua jenis talasemia, yakni talasemia minor atau pembawa sifat atau gen dan talasemia mayor. Talasemia minor ini hanya bisa diketahui dengan pengecekan darah. Talasemia mayor ini merupakan penyakit darah yang berat yang diderita sejak lahir.
Jika dua penderita talasemia minor bertemu dan menikah, ada kemungkinan si ibu melahirkan anak dengan talasemia mayor mencapai 25 persen, sedangkan kemungkinan anak dengan pembawa sifat talasemia mencapai 50 persen dan kemungkinan anak normal 25 persen.
Jika hanya salah satu penderita dari satu pasangan menderita penyakit ini, ada kemungkinan si ibu akan menurunkan gen penyakit ini kepada anak sebesar 50 persen.
Saat ini Shinta tengah mengandung anak pertamanya. Sejak tujuh tahun lalu, limpanya sudah diangkat karena dikhawatirkan membengkak lebih besar. Shinta mewarisi penyakit yang diturunkan kedua orang tuanya.
Yus Mardhani, 23 tahun, juga senasib dengan Shinta. Sejak umur enam tahun dia bergantung pada transfusi darah. Dia pun harus menjaga makanan yang mengandung banyak zat besi agar darahnya tak kelebihan zat tersebut.
Yus dan Shinta tak ingin mewariskan kondisi yang lebih fatal kepada keturunannya. Tak mengherankan jika saat dulu pacaran dengan laki-laki yang menjadi suaminya kini, dia langsung mengajak screening. "Alhamdulillah dia normal dan mau menerima saya apa adanya," ujar Shinta, tersenyum. Yus pun mengaku mengajak pacarnya melakukan hal yang sama. Meski belum tentu jadi, dia mengantisipasi kemungkinan agar anaknya kelak tak menderita.
Deteksi pranikah itu merupakan cara memutus rantai atau mencegah talasemia ini. Tujuannya adalah menghindarkan risiko mewariskan penyakit dua orang pembawa sifat. "Jika pasangan minor menikah, akan lebih banyak jumlah penderita penyakit ini. Namun, jika menikah dan hamil, konsekuensinya lebih berat," ujar Ruswandi, pendiri Yayasan Thalassaemia.
Ruswandi dan istrinya, Watty, menghimpun para orang tua penderita talasemia dan mendirikan Yayasan Thalassaemia. Mereka giat menghimpun dana dan mengedukasi masyarakat untuk lebih sadar dengan penyakit ini. Mereka mengharapkan masyarakat ikut mencegah meluasnya penyakit ini dengan memeriksa darah.
Djumhana mengatakan tak ada larangan bagi penderita talasemia minor untuk menikah. Jika mereka menikah, ada beberapa pilihan. "Tidak hamil, (atau) hamil dengan monitoring janin dalam kandungan untuk mengetahui menderita talasemia mayor atau tidak," ujarnya.
Djumhana menjelaskan penanganan talasemia dengan transfusi darah. Mula-mula iron overload diobati dengan injeksi desferioxamine. Dengan kemajuan teknologi, kemudian muncul obat oral deferipron. "Yang terakhir, datang obat oral deferasirox," ujarnya.
Menurut Djumhana, pasien talasemia mayor yang berusia kurang dari lima tahun, bila memiliki donor stem cell yang cocok, dapat menjalani transplantasi stem cell.
DIAN YULIASTUTI | BERBAGAI SUMBER