TEMPO Interaktif, Jakarta - Dira, 38 tahun, karyawan swasta di bilangan Mampang, Jakarta Selatan, terpaksa tak masuk bekerja selama beberapa hari. "Sedih dan tidak enak hati sama atasan saya. Mau, bagaimana? Anak saya dua-duanya masih balita dan meski cuma pilek, demamnya itu bikin deg-degan," katanya.
Dira juga sedih melihat penderitaan anak-anaknya, Rasya, lima tahun, dan Danys, tiga tahun. "Mereka jadi tidak nafsu makan, tidak bisa main sama teman-temannya, dan tidak bisa masuk sekolah," katanya.
Baca Juga:
Influenza memang tak boleh dianggap sepele. Penularannya begitu cepat. Droplet atau butir liur yang dimiliki pengidap bersin sudah bisa menyebar ke orang di sekitarnya dalam jarak kurang dari dua meter. Lalu, hanya dalam waktu satu sampai tiga hari, orang yang terpapar virus akan menjadi pengidap sekaligus sumber penularan virus ke orang lain.
"Belum lagi kontak langsung, seperti kala kita memegang rel eskalator atau pegangan di bus umum tempat virus menempel," kata Prof. Dr. Samsuridjal Djauzi, SpPD, K-AI, guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan Ketua Satgas Imunisasi Dewasa, dalam paparan media tentang pertemuan tahunan Indonesia Influenza Foundation, Sabtu lalu, 28 Mei 2011, di Jakarta.
Samsu mengatakan, masyarakat memang masih sering tidak bisa membedakan antara influenza karena virus dan pilek biasa atau common cold. Karena ketidakpahaman ini, sering kali influenza diatasi dengan obat yang dijual bebas. Padahal, obat hanya mengatasi sebagian gejalanya, tapi tidak melumpuhkan virus influenza.
Akibatnya, penyakit berlanjut hingga bisa berisiko menyebabkan komplikasi serius hingga kematian. "Terutama pada anak-anak kurang dari dua tahun dan lanjut usia di atas 65 tahun," kata Samsu. Badan Kesehatan Dunia (WHO) mencatat angka kematian akibat influenza 90 persen lebih terjadi pada kelompok usia 65 tahun ke atas.
Samsu menjelaskan, risiko komplikasi influenza yang berakibat pada kematian dan membahayakan jantung serta otak adalah akibat peradangan. "Infeksi selalu mengakibatkan peradangan organ dalam. Jika daya tahan cukup bagus, tak masalah. Tapi, sebaliknya, peradangan inilah yang bisa membahayakan otot jantung. Demikian pula di otak. Bukan dari virus flunya yang membahayakan otak, melainkan ensefalitisnya," kata Samsu. "Kejadian seperti ini memang jarang, tapi bukan berarti tidak terjadi."
Virus influenza memang tergolong bandel. Bayangkan saja berapa banyak kombinasi yang bisa dibangun dari 16 jenis hemagglutinin protein yang ditandai dengan huruf H dan 9 jenis protein neuraminidase yang ditandai dengan huruf N. "Virus influenza ini memang cepat bermutasi dengan gejala umum seperti demam, pilek, sakit kerongkongan, batuk, hingga sakit otot dan kepala," kata Prof. Dr. Cissy Kartasasmita, guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran dan Ketua Indonesia Influenza Foundation.
WHO memperkirakan setidaknya setiap tahun tiga-lima juta orang di dunia terjangkit virus influenza dan menyebabkan 250-500 ribu orang meninggal dunia. "Di Amerika Serikat, influenza lebih sering menyerang banyak pengidap pada bulan September dan Oktober. Di Australia juga demikian, lebih banyak terjadi pada bulan Maret," kata Mark Simmerman, PhD, Direktur Urusan Medis dan Kebijakan Publik Vaksin Sanofi Aventis, yang berkedudukan di Bangkok.
Namun, di Asia Tenggara, penularan influenza terjadi sepanjang tahun dan menyerang satu dari sepuluh orang dewasa dan satu dari tiga anak-anak. Bagaimana dengan di Indonesia? "Kita memang lemah soal data, tapi sebagai gambaran, saya pernah bertemu dengan seorang guru yang terpaksa meliburkan murid-muridnya karena sakit bergantian terus-menerus," kata Cissy. Ini tentu saja mengurangi waktu belajar efektif anak-anak.
"Biasanya, karena gejala mengganggu ini, dokter akan memberi izin tak masuk tiga hari, lalu kontrol lagi dan diperpanjang tiga hari lagi jika tak ada perkembangan," kata Cissy.
Cissy mengutip sebuah penelitian yang menyebut influenza bisa menyebabkan kelemahan yang membuat tak bisa beraktivitas hingga 100 persen, nyeri 85 persen, dan menggigil 83 persen.
"Sementara pada kelompok pekerja, orang bisa kehilangan 0,5-15 hari kerja, produktivitas menurun 30-70 persen," kata Samsu. Angka ini pun bisa lebih buruk mengingat penularan mudah terjadi di tempat tertutup tempat orang banyak berkumpul, misalnya di tempat kerja atau di ruang kelas.
Lalu, apa lagi yang bisa dilakukan? "Vaksinasi terbukti bisa mencegah 70-90 persen risiko terkena influenza pada dewasa sehat, 60 persen pada lanjut usia, dan menurunkan risiko kematian hingga 80 persen," Samsu menambahkan.
Vaksinasi influenza yang dilakukan setahun sekali sebenarnya juga lebih murah dibanding jika pasien sampai harus dirawat, masuk ICU, dan menggunakan antibiotik yang umumnya mahal. Sayangnya, dengan keefektifan dan efisiennya biaya yang harus dikeluarkan untuk vaksinasi, hingga kini, di Asia-Pasifik, peminat imunisasi influenza di Indonesia masih sangat rendah. Indonesia menempati peringkat kedelapan setelah Korea, Selandia Baru, Australia, Taiwan, Hong Kong, Thailand, dan Singapura.
UTAMI WIDOWATI