TEMPO Interaktif, Jakarta:Kabar yang beredar melalui media online itu benar-benar mengejutkan Widi Pramana, 40 tahun. Ia tak habis pikir bagaimana mungkin inhaler berisiko meningkatkan kematian. Maklum, selama bertahun-tahun inhaler senantiasa terselip di saku baju Widi, selain minyak angin.
“Alat ini membantu melegakan pernapasan saya,” kata staf pemasaran sebuah perusahaan asuransi di Jakarta Selatan itu.
Pulang-pergi mengendarai sepeda motor dengan rute Depok-Senayan, plus kebiasaannya mengisap nikotin membuat Widi terlihat ringkih dalam hal pernapasan. Toh, sejauh ini dia enggan memeriksakan dirinya secara serius ke dokter. Jika dadanya terasa sesak, dia langsung menghirup inhalernya.
Hingga kabar yang merujuk British Medical Journal itu muncul membuatnya resah. Sebuah penelitian dengan melibatkan 6.500 orang, tulis jurnal itu, mengungkap risiko kematian di antara pasien yang menggunakan Respimat dengan Spiriva (tiotropium) adalah 52 persen lebih tinggi dibandingkan dengan di kelompok plasebo. Dari penelitian ini juga menunjukkan menunjukkan terdapat satu kematian per tahun dari 124 pasien yang diobati menggunakan inhaler Tiotropium.
“Yang kami pikirkan adalah inhaler mengandung tiotropium dengan konsentrasi yang lebih tinggi dari seharusnya dan meningkatkan risiko kematian,” ujar Dokter Sonal Singh dari Johns Hopkins University School.
Tiotropium ini termasuk kelompok obat antikolinergik yang dapat meningkatkan risiko gangguan irama jantung. Terutama bagi mereka yang memiliki riwayat serangan jantung cukup berisiko. Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA) juga belum memberikan persetujuan terhadap peredaran inhaler Tiotropium meski banyak digunakan banyak pasien.
Ahli paru dari Rumah sakit Persahabatan Dr Budhi Antariksa SpP, PhD (K) termasuk yang belum meyakini hasil penelitian tersebut. Selain karena inhaler yang beredar di Indonesia namanya Spiriva, Tiotropium yang ada di inhaler ini seharusnya tidak mengganggu jantung. “Karena serapan dalam paru sangat sedikit yang masuk ke dalam darah,” ujarnya.
Selain itu, kata pengajar Bagian Pulmonologi & Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ini juga mengatakan inhaler saat ini sudah cukup aman. Dulu inhaler juga menggunakan chlorofluorocarbon (freon), kini inhaler yang ada tidak lagi.
Inhaler yang ada saat ini pun lebih dipilih karena fungsinya langsung ke target yakni, hanya untuk membantu melonggarkan saluran pernapasan. “Tidak masuk atau terserap darah,” ujar Budhi.
Inhaler yang ada saat ini, ia melanjutkan, memang banyak digunakan oleh mereka yang menderita penyakit asma dan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Penyebab PPOK adalah merokok.
Gangguan pernapasan memang tidak hanya dialami oleh para perokok atau mereka yang menderita asma. Tetapi juga sudah dirasakan oleh orang normal. Tak heran karena kondisi udara yang kotor dan polusi udara, terutama di kota besar seperti Jakarta. “Udara yang kotor ini juga akan memperburuk kondisi paru-paru,” ujar Budhi.
Dengan kondisi udara yang buruk, tak heran jika makin banyak orang menggunakan masker. Namun dokter lulusan sebuah universitas di Jepang itu mengingatkan, tak semua masker mampu menapis atau menyaring partikel polutan atau cemaran. “Ada masker M95 ini tapis sampai 95 persen, tapi kurang nyaman dipakai,” ujarnya.
DIAN YULIASTUTI | CA.NEWS.YAHOO.COM