TEMPO.CO, Jakarta - Sulaman suji cair menjadi koleksi kerajinan yang layak dimiliki para kolektor. Memiliki desain dengan motif halus, pengerjaannya memakan waktu berbulan-bulan dari ragam hias kerajinan ciri khas budaya Sumatera Barat.
Kotogadang, desa di Bukit Tinggi, Sumatera Barat, memiliki ciri khas keindahan kerajinan sulam hias selendang. Keunggulan sulam Indonesia ini banyak dipengaruhi oleh sulaman Cina.
Desa yang udaranya sejuk di kaki gunung ini memiliki budaya turun-temurun. Para perempuan memiliki pamedangan (meja untuk menyulam) dan membuat sulaman teknik suji cair. Jenis sulaman ini berasal dari falsafah kehidupan alam takambang jadi guru. Yakni, alam dan lingkungan menjadi sumber adat istiadat yang harus dilestarikan.
Suji cair atau suji caia merupakan jenis sulaman menggunakan warna benang berbeda atau gradasi warna. Selendang ini menggunakan bahan sutra atau satin berukuran lebar 55 sentimeter sampai 60 sentimeter dan panjang 1,8 meter hingga 2 meter.
Motif bunga dan daun suji dibuat dengan benang sutra atau satin, dengan lima sampai enam tingkatan warna. Benang disulamkan bergantian, hingga terjadi percampuran warna benang yang membentuk bayangan tiga dimensi. Perpaduan warna satu benang yang mencair di atas warna benang lain ini yang membuatnya disebut suji cair.
Pengerjaannya juga harus rapi dan halus untuk mendapatkan sulaman indah. Dengan demikian, waktu pengerjaannya mencapai tiga bulan untuk satu selendang.
Aneka hias sulaman biasa digunakan pada selendang dengan berbagai jenis. Selain suji cair, ada kapalo samek, yang merupakan motif bunga, seperti krisan, carnation, dan lili. Ada juga suji terawang, yang banyak menggunakan motif manusia atau binatang, seperti bebek, burung, dan kumbang.
Teknik kapalo samek atau sulaman kepala peniti ini karena hasil sulaman menyerupai kepala peniti (semat). Ada juga suji terawang, yang hanya boleh dikenakan oleh wanita berusia 50 tahun ke atas. Karena teknik pembuatannya rumit, harga suji cair dan kapalo samek mencapai jutaan rupiah.
Keinginan melestarikan dan merawat budaya menjadi kepedulian Yenni Santoso, pendiri yayasan Terima Kasih Kita. Perempuan yang memiliki rumah gadang Sicamin di Biaro, Ampek Angkek, Bukit Tinggi, ini menggerakkan beberapa pengrajin sulam suji cair untuk membuat selendang tidak biasa. “Saya menstimulasi mereka agar mengerjakan sulaman berkualitas dan halus,” kata ibu dua anak yang menetap di Jakarta ini.
Selendang suji cair yang diinginkan Yenni adalah yang berciri khas high end dan layak dikoleksi. Dalam beberapa tahun pengerjaan, telah dibuat 40 koleksi awal, dan 40 lagi ciri khasnya motif bunga dahlia. Warna-warna selendang dipilih warna ceria, yakni, merah cerah, ungu, salem, kuning, hijau, dan warna khas Minangkabau: hitam dan merah.
Yenni mengatakan, saat ini motif sulaman yang tengah dikembangkan adalah motif bunga dahlia. Bunga asal Meksiko ini dibawa ke Eropa oleh bangsa Portugis dan masuk ke Indonesia dibawa Belanda. Jadi bunga cantik ini sudah lebih dari 100 tahun ditanam di kebun penduduk Bukit Tinggi.
“Ada program pencanangan The City of Dahlia pada 8 Mei tahun lalu oleh Gubernur Sumatera Barat,” kata Yenni, yang menjadi Ketua Komunitas Pecinta Bukittinggi Berbunga dan pemrakarsa pengembangan bunga dahlia di Bukit Tinggi.
Yenni memamerkan puluhan selendang sulam suji cair karya pengrajin binaan di Bukit Tinggi, dalam acara Pameran Budaya Prosesi Minangkabau: Menyulam Keindahan Budaya Matrilineal di Museum Tekstil pada 12 November hingga 18 November lalu.
Yenni menginginkan selendang sulaman suji cair ini menjadi koleksi yang layak dimiliki para kolektor yang paham estetika. Ia dan desainer Musa Widiatmodjo tengah mempersiapkan kolaborasi yang berwujud pergelaran yang menampilkan sulaman suji cair pada tahun depan. ”Ke depan, para pemilik selendang akan terseleksi. Di sudut selendang akan menjelaskan nama pembuatnya dan tahun dikeluarkan,” ujarnya.
EVIETA FADJAR