TEMPO.CO, Jakarta - Menurut pria yang akrab dipanggil Budcay, pendaki seluruh gunung di Pulau Jawa, Bali, Sumatera, Papua (Jayawiyaja) termasuk di Eropa, Alpen di Prancis, Elbrus di Rusia, film yang disutradarai oleh Rizal Mantovani itu tak memberikan nilai tambah bagi seorang pendaki.
Usai menyaksikan film tersebut, jelas lelaki yang juga pemanjat tebing ini, dia dan teman-teman pendaki gunung lainnya tidak mendapatkan hal baru. "Tidak ada ilmu yang didapat usai menyaksikan film tersebut. Film ini tidak ada greget, lebai!" kata Budcay, Kamis, 21 Februari 2013.
Yang dimaksud "ilmu", tegas Budcay, adalah film ini tidak menggambarkan bagaimana menjadi seorang pendaki gunung yang sebenarrnya. Misalnya, bagaimana mempersiapkan diri, perlengkapan apa saja yang harus dibawa, atau lainnya.
Budcay membantah jika film 5 CM menjadikan tren pendaki gunung dadakan bermunculan. Menurutnya, sejak film 5 cm diluncurkan pada 12 Desember 2012 tidak ada data mengenai hal itu. Justru menurut pemilik sekolah panjat tebing ini, gairah anak muda naik gunung menurun dibandingkan ketika 1990-an.
"Tidak ada bukti film 5 cm mendongkrak tren anak muda naik gunung. Di kampus, saat ini, paling banyak lima orang pendaki gunung. Kalau pada 1990-an bisa sampai 100 orang," tegas Budcay.
Pria berusia 41 tahun ini mengatakan, dibandingkan dengan Vertical Limit, film arahan sutradara Selandia Baru Martin Campbell, film 5 cm lebih kepada tontonan menghibur. Budcay menerangkan, Vertical Limit mengajarkan kepada pecinta alam termasuk pendaki gunung dan pemanjat tebing untuk mempersiapkan diri dengan baik bila ingin menaklukkan keganasan gunung. "Film ini sarat ilmu pengetahuan bagi pendaki gunung," kata Budcay. (Baca: Edsus Naik Gunung)
CHOIRUL AMINUDDIN
Berita Lain:
Mapala UI Buka Jalur Baru ke Puncak Trikora, Papua
Naik Gunung, Dari Hobi Jadi Bisnis
Kopdar, Seorang Kakek pun Ikut Naik Gunung
Bosan ke Mal, Komunitas Blogger Kopdar di Gunung