TEMPO.CO, Banyuwangi - Belasan pot anggrek bergantungan di bawah atap kios bunga Khatulistiwa, di Jalan Kepiting, Banyuwangi, Jawa Timur. Bunganya yang berwarna ungu bermekaran. Anggrek-anggrek itu dipajang di antara bunga hias lainnya, menunggu pembeli.
Anggrek ungu yang menjadi koleksi kios bunga tersebut dikenal dengan nama dendrobium ungu. Menurut karyawan kios, Muhammad Faisol, anggrek ungu seharga Rp 30 ribu per pot itu menjadi salah satu tanaman paling dicari oleh pembeli. "Sehari bisa laku 5-10 pot," katanya kepada Tempo, Jum’at, 5 April 2013.
Anggrek itu dipasok dari Pasuruan dan Malang. Dalam satu bulan, kios bunga Khatulistiwa bisa mendatangkan hingga 100 pot. Selain harganya terjangkau, anggrek ungu lebih disukai karena perawatannya mudah.
Selain anggrek ungu, kios bunga Khatulistiwa juga menjual anggrek bulan, anggrek hitam dan anggrek tebu. Namun anggrek hitam dan anggrek tebu hanya bisa dibeli setelah dipesan terlebih dahulu. Sebab harus diambil dari Kalimantan dan Papua. "Harganya lebih mahal, bisa Rp 200 ribu per pot," ujar Faisol.
Anggrek sebenarnya mulai dikenal sejak 200 tahun lalu. Dalam 50 tahun terakhir, anggrek mulai populer di Indonesia sebagai tanaman hias karena memiliki warna bunga yang elok.
Baca Juga:
Pelestari anggrek hutan dari Komunitas Foto Biodiversitas Indonesia Agung Satriyo mengatakan, anggrek kini menjadi tanaman yang terancam punah karena dua hal, yakni eksploitasi dan rusaknya habitat. Eksploitasi dipicu oleh semakin tumbuhnya hobi mengoleksi anggrek.
Para kolektor saat ini semakin beragam, mulai kolektor anggrek hibrida (anggrek dari persilangan), anggrek mini dan anggrek spesies. Kebanyakan, anggrek-anggrek yang diperdagangkan diambil dari hutan-hutan di Indonesia. "Perburuan anggrek di hutan semakin mengkhawatirkan," ucapnya kepada Tempo, pekan lalu.
Menurut Satriyo, Indonesia memiliki sekitar 5.000 jenis anggrek, 700 jenis di antaranya tumbuh di Pulau Jawa. Saat ini memang belum ada data yang valid mengenai spesies apa saja yang mulai punah. Sebab pendokumentasian spesies anggrek cukup lambat, sementara ancaman terus terjadi. Anggrek bulan adalah salah satu jenis anggrek yang kini mulai langka.
Selain memenuhi pasar lokal, perburuan anggrek hutan banyak dilakukan untuk memenuhi pasar luar negeri. Anggrek Indonsia dari hutan Kalimantan dan Papua banyak diselundupkan ke Eropa, Amerika, Malasyia dan Thailand. Di Indonesia kolektor anggrek paling banyak berada di Pulau Jawa dan Sumatera.
Maraknya perdagangan anggrek, kata Satriyo, diakibatkan belum adanya pengetahuan mengenai pentingnya menjaga keanekaragaman hayati. Pembudidayaan anggrek umumnya tidak diimbangi dengan upaya konservasi. Gerakan konservasi, kata dia, sebenarnya bisa dilakukan dengan mengembalikan anggrek ke habitat aslinya sehingga anggrek di hutan tetap ada.
Lemahnya penegakan hukum juga menjadi penyebab kian suburnya perdagangan anggrek. Padahal tanaman anggrek sudah dilindungi melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7 Tahun 1999 Tentang Pengawetan Tumbuhan dan Satwa.
Dalam PP itu, sebanyak 29 spesies anggrek langka dilindungi seperti anggrek hitam (Coelogyne pandurata), anggrek tebu (Grammatophyllum speciosum), anggrek struberi (Dendrobium lasianthera) dan anggrek aksara (Macodes petola). Namun, PP tersebut jarang dipakai untuk menjerat pedagang anggrek.
Selain itu, rusaknya habitat, seperti pembukaan atau alih fungsi hutan menjadi ancaman punahnya anggrek. Sebab anggrek kebanyakan hidup menempel di pohon-pohon. Oleh karenanya, menjaga keberadaan anggrek di hutan, sama halnya dengan menjaga kelestarian hutan itu sendiri. "Dalam satu pohon sedikitnya bisa terdapat 11 hingga 13 spesies anggrek. Lalu berapa anggrek yang hilang bila hutannya dirambah," tutur Satriyo.
IKA NINGTYAS