TEMPO.CO, Jakarta -Merasa kampungnya terancam, sejak tahun 1993 Mama Aleta giat melindungi sumber daya alam kabupaten Soe dari pencemaran pertambangan pualam. Dia mengaku akan terus berjuang atas nasib masyarakat adat dan bumi tempatnya bernaung. Bagi ibu tiga anak ini, tanah di tempatnya merupakan sumber utama mata air dan penghasil pangan untuk Kupang, Dili, dan Atambua. Dia berpendapat dengan adanya pertambangan, hutan jadi rusak, air tercemar, tempat ritual adat jadi hilang.
“Pokoknya atas alasan ini, saya tidak akan berhenti berjuang meski terus diteror untuk dibunuh karena menentang,” tutur Mama Aleta yang pernah berminggu-minggu bersama masyarakat desanya bertahan mempertahankan salah satu fatu.
“Saya sempat didorong-dorong dengan senjata, ditakut-takuti dengan pasukan berkuda, tapi saya percaya Tuhan dan leluhur kami ada di hati,” ucapnya sambil menjelaskan bebatuan tersebut merupakan ritus adat orang Molo.
Dibawah batu, masayarakat di sana menemukan berbagai peninggalan nenek moyang, mulai senjata sampai perkakas upacara. Di kaki gunung batu mereka mendapatkan sumber-sumber air yang menyediakan air hingga musim kemarau. Gunung batu ini juga menjaga lahan dan rumah warga dari terpaan angin keras dimusim kemarau, dan hujan deras serta erosi yang tinggi dimusim hujan.
Berikutnya: Sekitar sembilan puluh persen...
Sekitar sembilan puluh persen penduduk Molo bekerja sebagai petani dan peternak.
Dalam catatannya selama mendampingi orang Molo di desa Tune Bonleu, Mama Aleta meyakini kearifan Orang Molo memandang sumber daya alamnya. Pandangan dan penilaian orang Molo terhadap alam semesta dan tempat tinggalnya menjelma dalam filosofi ‘Uim Bubu’ (ume – rumah) yang berdiri kokoh dengan amnesat, nij, dan tefi.
Filosofi di atas menggambarkan pemahaman mereka terhadap ruang hidup. Amnesat berarti dasar atau fondasi, diibaratkan sebagai oekanaf (air) yang penyangganya adalah fatukanaf dan haukanaf (batu dan kayu). Nij adalah tiang, diibaratkan sebagai afu (tanah) yang merupakan tempat untuk bertanam, beternak, dan perumaha. Dan Tefi berarti atap, diibaratkan sebagai pena nok ane (jerih payah) yang diperoleh dari hasil pemanfaatan oekanaf, fatukanaf, haukanaf, dan afu.
Pandangan dan penilaian diatas mengandung makna kosmis, bahwa kehidupan orang Molo tidak bisa dipisahkan dari tanah, hutan, air, batu, kayu, serta binatang-binatang yang hidup di dalamnya. Dalam hutan ada tempat ritus, ada pohon lebah, ada batu bernama – air bernama. Batu dilambangkan sebagai tulang, tanah sebagai daging, air sebagai darah, dan hutan sebagai kulit, paru-paru dan rambut. Bila tidak ada batu berarti kehilangan tulang, ada batu berarti ada air, manusia tidak bisa hidup tanpa batu, air, kayu, dan tanah.
Berkat perjuangannya nama Mama Aleta di dunia nasional dan internasional dikenal sebagai kelompok pembela Hak Asasi Manusia (HAM) perempuan dan masyarakat adat yang banyak mendapatkan ancaman dan kekerasan saat menjalankan upaya-upaya pembelaan HAM didaerahnya. Sejak aktif menjadi penggerak pemberdayaan masyarakat, ia terus menerus diintimidasi preman yang mendatangi rumahnya, diancam, keluarganya diteror mau dibunuh dan rumahnya dilempari batu. Suaminya seorang guru, pernah juga diancam mau dibunuh.
“Pulang dari sekolah ia protes ke saya, katanya sudahlah jangan kau teruskan lagi. Tapi setelah saya berikan pengertian ia pun ikhlas mendukung perjuangan saya,” ujarnya. (Baca: Para Peraih Penghargaan Golman)
HADRIANI P
Topik Terhangat:
Serangan Penjara Sleman| Harta Djoko Susilo | Nasib Anas