TEMPO.CO, Jakarta - Bulan April secara tidak langsung menjadi bulan yang meletakkan kebaya, salah satu pakaian nasional Indonesia, menjadi penting. Sebutan "kebaya" berasal dari kata "abaya". Di Pulau Jawa, kebaya mulai digunakan terutama oleh para wanita dari kalangan bangsawan bersamaan dengan masuknya pengaruh agama Islam, sehingga wanita Jawa yang biasa menggunakan kemben hingga masa kerajaan Majapahit, menggantinya dengan busana yang lebih tertutup.
Terjadi akselerasi yang sangat menarik. Kebiasaan berdandan eksotis seperti di masa Ken Dedes, membuat kebaya walaupun lebih menutupi tubuh, tetap digunting dan dijahit mengikuti lekuk tubuh wanita yang indah. Walaupun sama-sama tertutup hingga mata kaki, tampilan kebaya jauh berbeda daripada abaya, busana wanita Timur Tengah yang serba longgar dan tertutup. Sementara itu, di Semenanjung Malaysia, Pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Ternate, Maluku dan NTB, kebaya telah lebih dulu dikenal dalam berbagai variasinya seperti baju kurung dan kebaya panjang yang berpotongan lurus dan sedikit longgar.
Bahan untuk kebaya bervariasi, mulai dari kain-kain halus seperti sutra yang berasal dari Timur Tengah dan Cina yang menjadi pilihan para wanita bangsawan, hingga tekstil biasa atau kain tenun seperti lurik yang harganya terjangkau.
Di masa penjajahan Belanda, budaya yang dibawa para pedagang Cina--terutama yang telah dipengaruhi budaya Portugis dan pernah singgah di Malaka--memperkaya penampilan kebaya melalui pemilihan bahan yang lebih transparan serta penggunaan berbagai teknik sulaman yang disebut krancang (bordir terawang). Batas bawah kebaya pun dipendekkan, dengan guntingan akhir yang meruncing di depan. Kebaya model ini populer disebut kebaya encim, modis dan penuh warna, disukai nyonya-nyonya serta gadis-gadis Indo-Belanda dan keturunan Cina.
Selanjutnya, desain kebaya berkembang sesuai kepribadian pemakainya. Kebaya yang digunakan R.A. Kartini sesuai dengan kehebatannya yang mendunia dan derajatnya sebagai putri dan istri bupati. Kartini selalu tampil ringkas dengan kebaya panjang tertutup berwarna dof bersulam pita emas, disertai deretan uang emas sebagai perhiasannya. Kebaya semacam ini juga digunakan oleh para istri dan putri raja yang telah menikah, sementara pada masa itu rakyat biasa menirunya untuk tampil di hari-hari istimewa seperti pernikahan.
Pada perjalanan waktu, para wanita di keraton-keraton di Jawa yang merupakan pusat-pusat budaya, terus berkreasi dengan kebaya. Gusti Nurul dan Gusti Putri adalah putri-putri dan permaisuri keraton Mangkunegaran yang karena seringnya terjun ke masyarakat, dikenal sebagai panutan modifikasi model kebaya Jawa di era 1960-an.
HADRIANI P
Baca Juga:
Jakarta Fashion Week Siap Digelar
Polusi Udara Tingkatkan Risiko Stroke
Obat Berlabel Anak-anak Bisa Berbahaya
Kuku Anda Perlu Dicintai Juga
40 Persen Orang Tua Beri Obat Tak Cocok Buat Anak
Main Tetris Bisa Sembuhkan Penyakit Mata Ini