TEMPO.CO, Kwatisore - Dua jam menembus ombak Teluk Cendrawasih, pada tengah hari kapal yang ditumpangi tim Tempo (penulis Wahyuana Wardoyo dan fotografer Rully Kesuma) sampai di resor Kali Lemon, Desa Kwatisore, Kabupaten Nabire, Papua. Sepi. Tak ada sinyal telepon. Seperti kembali ke peradaban silam. Sesekali ada suara burung, anjing liar, desir angin, dan raungan tonggeret. Seekor elang dan rombongan rangkong terbang berpindah dari satu pohon ke pohon lain ketika kami datang, pertengahan Oktober lalu.
Taman Nasional Teluk Cendrawasih adalah taman nasional perairan laut terluas di Indonesia. Ada 150 jenis terumbu karang yang tersebar di tepian 18 pulau besar dan kecil. Koleksi ikannya juga mengagumkan. Kurang-lebih 209 jenis ikan menjadi penghuni setia kawasan ini. Kekayaan "hutan" bawah laut itulah yang mengundang wisatawan ke sini. Namun, dari sekian banyak jenis ikan di sana, yang sangat kami ingin jumpai adalah ikan hantu.
“Empat hantu Kwatisore sudah menunggu di bagan sejak pagi,” ujar Yance Henawi, pemandu selam Kali Lemon. Hantu Kwatisore adalah sebutan untuk hiu paus (Rhincodon typus). Masyarakat Kwatisore memang biasa menyebut hiu paus sebagai hiniotanibre (ikan hantu). “Nelayan lokal menyebutnya ikan hantu karena kerap tiba-tiba muncul di samping perahu dan menggesek-gesekkan tubuhnya ke badan perahu,” ujar Ben Gurion Saroy, Kepala Taman Nasional Teluk Cendrawasih, otoritas wilayah laut Kwatisore.
Ikan terbesar di dunia ini memang terlihat menakutkan seperti hantu. Tubuhnya bisa mencapai 9 ton dengan panjang 10 meter. Nelayan-nelayan lain di Indonesia bagian timur menyebutnya gurano bintang (hiu bertotol) karena kulitnya bertotol.
Menurut Yance yang asli Kwatisore, masyarakat desa percaya ikan hantu adalah hewan adat. Di Desa Kwatisore, terdapat situs Bukit Batu Meja, yakni bukit setinggi 200 meter yang di atasnya terdapat batu besar berbentuk meja. Dari sana, Kwatisore tampak seperti ekor hiu paus. “Bentuk pulau yang seperti ekor hiu paus membuat kami percaya Kwatisore memang rumah tinggal mereka. Kami dilarang mengkonsumsinya,” ujar Yance saat kami berada di atas bagan, rumah dengan jaring terapung di tengah laut yang digunakan nelayan untuk menjaring ikan.
Di bawah bagan itu, hiu paus berkeliaran berburu ikan teri yang tertangkap di jaring-jaring nelayan. Terdengar bunyi ngosh ngosh ngosh keluar dari mulut-mulut hiu paus yang mengisap jaring-jaring ikan. Empat hiu paus berwarna keabu-abuan dengan totol-totol putih di sekujur tubuh mereka itu memiliki panjang antara 4 hingga 7 meter. Berat mereka diperkirakan 2-3 ton.
Bulu kuduk saya berdiri. Ini pertama kalinya saya melihat ikan raksasa terbesar di bumi. Bagi penyelam, bertemu dengan hiu paus adalah mimpi indah. Mimpi itu saya peroleh di Kwatisore. (Baca Edisi Khusus Surga Wisata Indonesia)
TIM TEMPO | AMIRULLAH