TEMPO.CO, Jakarta - Fotografer jalanan juga dilarang menyunting hasil pemotretannya dan melakukan pemotretan secara diam-diam, dalam pengertian subyek yang difoto tak sadar dirinya dipotret.
Dengan cara itu, kata Erik, fotografer akan mendapat emosi di dalamnya. Emosi ini, menurut Erik, bukan cuma pada manusia, tapi juga bisa muncul dari satu bangunan atau suasana.
Karena memotret secara diam-diam, fotografer jalanan menghadapi masalah etis: seberapa jauh dia boleh memotret? Bukankah orang yang dipotret berhak menolak untuk difoto? Perkara ini selalu mencuat di berbagai ruang diskusi para fotografer jalanan di luar negeri.
Fotografer Rony Zakaria mengakui bahwa hak fotografer untuk memotret juga sama dengan hak orang lain yang berada di luar sana. "Tetapi, apabila mereka merasa terganggu (difoto) dan mengatakannya kepada saya, tentu saya akan stop,” katanya.
Etika fotografi sangat bergantung pada pertimbangan juru foto. Menurut Erik, setiap area sosial di dunia adalah ruang publik.
Fotografi jalanan tidak menangkap dan menceritakan latar belakang sosial dari sebuah obyek, melainkan hanya emosi yang terpancar saat itu, sehingga sah-sah saja untuk memotretnya. Sedangkan Oscar Motuloh menilai fotografer jalanan tetap harus menghormati obyek yang mereka ambil secara etis. Setidaknya dengan mengetahui kode etik yang ada pada foto jurnalistik. (Baca: Apa Itu Fotografi Jalanan?)
Sebab, dalam kode etik foto jurnalistik sudah tercantum beberapa hal yang berlaku umum terkait dengan etika pengambilan gambar. Masalahnya, tak semua fotografer jalanan ini adalah jurnalis, sehingga mereka tak terikat dengan kode etik tersebut.
Pertimbangan lain dalam perkara etika ini adalah soal motivasi karena setiap fotografer punya motif yang berbeda saat memotret. “Kalau saya, fotografi jalanan hanya untuk memuaskan keingintahuan saya. Ketika saya menemukan hal yang menarik kemudian saya tidak mencoba memotretnya, hal tersebut bisa membayangi saya beberapa hari," katanya.