TEMPO.CO, Jakarta - Badan Pengawas Obat dan Makanan RI (BPOM) didukung oleh Kepolisian dan Ditjen Bea Cukai, meluncurkan hasil temuan Operasi STORM V yang dimulai bulan Juni hingga Agustus 2014, digagas oleh International Criminal Police Organization (ICPO) Interpol, pada Kamis 11 September 2014.
BPOM melakukan operasi di seluruh wilayah Indonesia melalui 31 Balai Besar/Balai POM, dan berhasil menemukan obat ilegal, obat tradisional ilegal termasuk mengandung bahan kimia obat, dan kosmetik ilegal di 154 sarana produksi dan distribusi.
Nilai ekonomi dari obat illegal yang ditemukan tersebut, mencapai Rp 31,66 miliar dengan rincian 173 item obat ilegal, 1.520 obat tradisional ilegal termasuk mengandung bahan kimia obat dan 1.963 item kosmetik ilegal.(Baca : Akibat Pemalsuan, Ada Kebocoran Rp 65,1 Triliun )
“Keberhasilan BPOM, Kepolisian dan Ditjen Bea Cukai ini tentunya sangat menggembirakan. Hal tersebut dapat dikatakan sebagai sebuah langkah konkrit dan tanggung jawab para pemangku kepentingan untuk memberantas peredaran barang palsu hingga ke sumbernya, yang pada kenyataannya memang masih banyak kita temui di sekeliling kita” ungkap Widyaretna Buenastuti, Ketua
Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan (MIAP) pada Kamis 11 September 2014, menaggapi hasil temuan BPOM RI dan Ditjen Bea Cukai.
Widyaretna menilai, kesediaan konsumen untuk membeli atau menggunakan barang palsu tentunya berkorelasi langsung dengan keberadaan barang palsu yang ada di pasaran.
Hal itu terbukti dari hasil temuan MIAP bekerjasama dengan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI) melalui Studi Dampak Pemalsuan terhadap Perekonomian 2014, mencatat bahwa komoditas pakaian, tinta printer, barang dari kulit dan software merupakan produk-produk palsu yang paling banyak beredar.
Persentase produk tinta printer mencapai 49.4%, pakaian palsu mencapai 38.90%, diikuti oleh barang dari kulit 37.20%, dan software 33.50%. Sisanya produk kosmetika palsu 12.60%, makanan dan minuman palsu 8.50%, dan produk farmasi palsu 3.80%.(Baca :Produk Pelangsing Rentan Terhadap Pemalsuan )
Temuan tersebut sangat mengkhawatirkan mengingat perkiraan kerugian ekonomi akibat peredaran barang palsu terus meningkat. Jika hasil survei MIAP di tahun 2010, memperkirakan kerugian perekonomian (Produk Domestik Bruto – PDB) sebesar Rp. 43.2 triliun, angka potensi tersebut bertambah menjadi sekitar Rp. 65,1 triliun di 2014.
Dapat diartikan bahwa secara nominal pemalsuan di Indonesia meningkat hampir 1.5 kali lipat dalam periode waktu lima tahun. Menurut Widyaretna, melalui tindak lanjut yang nyata dari BPOM bagi pelaku pemalsuan, MIAP berharap bahwa hal tersebut menjadi awal perbaikan dalam sistem kerangka penegakkan hukum. Dimana penangkapan pelaku bisa berlanjut proses hukumnya, hingga hukuman yang cukup membuat jera para pelaku pemalsuan.
"Ini terkait pula dengan hasil survei MIAP & FE UI 2014 bahwa pernyataan penegakan hukum atas pelaku barang palsu, masih lemah menempati persepsi yang paling tinggi di masyarakat sebagai penyebab maraknya pemalsuan” ujar Widyaretna.
Widyaretna menambahkan, membangun dan mengubah persepsi masyarakat untuk lebih waspada tentang kerugian dan bahaya menggunakan barang palsu maupun mengajak kepada pelaku usaha untuk tidak menjual atau mengedarkan barang palsu tentunya tidak mudah dan tiada hentinya.
“Kerja sama dan partisipasi semua pemangku kepentingan sesuai tugas, fungsi dan tanggung jawab masing-masing sangat diperlukan dengan segera," kata dia.
EVIETA FADJAR
Berita Terpopuler
Anak Juga Bisa Jadi Duta Lingkungan
Bagian Ingatan Pasien Demensia Menyusut
Di Kantor Pun Bisa Lakukan Olahraga
Ini Proses Terjadinya Demensia