TEMPO.CO, Jakarta - Malam selalu jadi hal menarik bagi penduduk Ibu Kota. Seperti sering dibilang, Jakarta adalah kota yang tak pernah tidur. Saat malam tiba, tak sedikit orang memilih tetap eksis, tak mau buru-buru memicingkan mata demi menikmati syahdunya malam. Demikian pula ketika waktu menunjukkan pukul 11 malam, saat itulah satu demi satu gedung pencakar langit meredupkan sinarnya. Lampu sorot yang menyinari Hotel Grand Hyatt di Bundaran HI, Jakarta Pusat, dipadamkan. Begitu juga Menara BCA yang berada di seberangnya.
Kesyahduan Jakarta menjadi menu yang disuguhkan La Vue. Sesuai dengan namanya--berasal dari bahasa Prancis yang berarti pemandangan, restoran yang berada di puncak Hotel The Hermitage di Jalan Cilacap, Jakarta Pusat, itu menyajikan panorama delapan penjuru mata angin kota yang berumur 487 tahun ini.
Dibuka awal tahun ini, La Vue menjadi pendatang teranyar di jajaran rooftop lounge. “Kami bikin tempat nongkrong di atap bukan karena sky lounge sedang hip, tapi untuk menyediakan area bersantai yang cozy bagi pengunjung hotel," ujar Karina Eva Poetry, Manajer Hubungan Masyarakat The Hermitage, kepada Tempo pada pertengahan September lalu.
Menurut Eva, justru banyak pengunjung La Vue, yang bukan tamu hotel bintang lima bergaya bangunan 1940-an ini, suka menikmati ketinggian di lantai sembilan itu. Lantai ini tidak terlalu luas, tepatnya berada di lantai puncak The Hermitage yang terbagi atas dua level, yaitu kolam renang dan pusat kebugaran di bagian bawah, serta lantai mezzanine tempat deretan bangku dan sofa La Vue berjajar.
La Vue cocok untuk penikmat ketinggian yang ingin jauh dari keramaian--seperti yang kerap berlangsung di SKYE Lounge, Menara BCA. Malam itu, misalnya, hanya ada dua rombongan pengunjung--satu kelompok ekspatriat dan satu lokal--selain kami. Kebanyakan dari mereka berbincang ditemani minuman beralkohol. Kami bisa mendengar obrolan mereka karena dentuman musik elektronik di sana tidak memekakkan telinga. (Baca: Berburu Senja dari Atap Pencakar Langit)
Baca Juga:
La Vue menyediakan sederet pilihan koktail, moktail, dan bir. Sedangkan untuk makanan, menunya beragam, dari tapas hingga The Hermitage Club--roti lapis dengan daging sapi atau babi yang disajikan dengan kentang goreng. Sebagai penutup, ada berbagai kue manis, seperti macaroon dan opera cake yang disuguhkan dengan es krim. Malam itu saya memesan moktail Lychee Mint Bubble. Ini merupakan minuman soda dengan sirop buah leci, plus bola-bola bening mirip telur ikan dengan rasa manis.
Sayangnya, La Vue tidak buka hingga dinihari. Mereka melayani pemesanan terakhir pada pukul setengah 12 malam. Waktu itu melebihi jam operasional, yang buka mulai pukul 4 sore hingga 10 malam.
Soal pelayanan masih terbilang minim sebab hanya dilayani satu bartender dan satu pelayan. Dengan demikian, waktu tunggu pesanan jadi sangat panjang. Setidaknya butuh lebih dari 20 menit untuk setiap pesanan.
Untuk harga pada minuman moktail sekitar Rp 90 ribu. Lalu harga yang sama berlaku untuk sepotong opera cake. Adapun empat potong sandwich dihargai Rp 180 ribu, lalu untuk pajak dan biaya pelayanan lebih dari Rp 50 ribu. (Baca: Ahok Minta Warga Nongkrong di Flyover Ditilang)
Meskipun aksesnya cukup ruwet--Jalan Cilacap merupakan penghubung Jalan Cikini Raya dan Teuku Cik Di Tiro, banyak tamu yang datang ke sini untuk sekadar berbincang akrab, pacaran, atau kontemplasi. "Enggak rugilah, jauh-jauh ke sini, dapat ketenangan," kata Silvia Nugrahwati, 21 tahun. Bagi Silvia, yang terpenting dirinya bisa eksis berfoto lantaran pemandangannya keren.
SUBKHAN | ISMA SAVITRI
Terpopuler
Belanja, Bersantai, dan Picnic Sale
Cegah Sakit Jantung dengan Gaya Hidup Sehat
Kiat Merias Mata dan Alis
Empat Mitos dan Fakta tentang Mencukur