TEMPO.CO, Jakarta - Di IKEA, mereka datang dengan misi masing-masing. Eva, 35 tahun, membolos dari kantor demi pembaruan ruang tamu rumahnya. Dia sibuk memotret hampir semua display sofa tamu yang ada.
Di sudut lain, lima perempuan 20-an tahun sibuk mengamati Micke, seri produk ruang kerja IKEA. Bukan untuk dibeli, melainkan sebagai sumber inspirasi tugas kuliah mereka di jurusan Desain Interior Universitas Trisakti, Jakarta. "Produk mereka menyediakan ruang penyimpanan maksimal di area yang terbatas," kata Saskia kepada Tempo di IKEA Alam Sutera, Tangerang, kemarin.
IKEA membuka cabang perdana mereka di Indonesia pada 15 Oktober lalu. Retailer perabot rumah asal Swedia ini menempati area 35 ribu meter persegi di Jalan Jalur Sutera Boulevard, Tangerang Selatan, dan menyediakan lebih dari 7.000 produk. Konsumen datang bak semut mengerubungi gula. Pada akhir pekan, pengunjung harus melewati antrean panjang sebelum bisa mencapai pintu masuk.
IKEA--singkatan dari Ingvar Kamprad (pendiri), Elmtaryd (nama peternakan tempat Kamprad dibesarkan), dan Agunnaryd (kota kelahiran Kamprad)--bukan sekadar tempat belanja. Seperti yang Saskia cs lakoni, toko ini merupakan sumber inspirasi desain. Terdapat 55 setting ruangan yang bisa kita singgahi, dari apartemen studio 25 meter persegi sampai dapur ala celebrity chef. IKEA membebaskan pengunjung menjajal display mereka, termasuk duduk di sofa dan tempat tidur, serta menyala-matikan lampu.
Ada juga yang menjadikannya tempat rekreasi. Siang itu, Haryadi datang bersama istri dan dua anak balitanya. "Asyik, anak-anak bebas bermain di sini," katanya. Dia mengajukan cuti dari kantornya di Kementerian Keuangan untuk pelesir. "Tempatnya luas, anak-anak bebas berlarian, bahkan lompat-lompatan di tempat tidur display."
Konsep swalayan terasa betul di sini. "Tidak ada petugas yang mengikuti pembeli. Mereka melakukan semuanya sendiri," kata Yogi, petugas IKEA. "Dari memilih, mengambil, hingga membawa barangnya."
Sistem tersebut rupanya masih belum bisa diterima sebagian pengunjung. Siang itu, seorang ibu marah-marah di kasir karena tidak mendapat kantong belanja. IKEA menjual tas belanja dengan bahan plastik seharga Rp 10 ribu. "Masak, kita harus bawa kantong dari rumah," katanya.
Pengusaha Dedi Sjahrir Panigoro, 67 tahun, yang melihat kejadian itu mengatakan IKEA bisa menjadi pembelajaran bagi masyarakat Indonesia untuk belanja secara mandiri. "Bukan soal mudah, karena selama ini kita terbiasa dilayani," kata petinggi Medco Group tersebut.
Arsitek senior Ary Juwono menyoroti perlunya kemandirian pembeli dalam merakit barang. Tidak seperti belanja furnitur di Klender, IKEA mengutip tarif ratusan ribu rupiah untuk pengantaran dan instalasi barang di rumah. "Jangan sampai gagal dirakit dan menjadi sampah," kata alumnus Institut Teknologi Bandung tersebut.
Kehadiran IKEA meramaikan persaingan pasar furnitur Indonesia. Pada 9 Oktober lalu, Courts, megastore furnitur dan elektronik asal Singapura, membuka gerai mereka di Kota Harapan Indah, Bekasi. Dalam lima tahun ke depan, kata Direktur Pelaksana Courts Indonesia Roy Santoso, pihaknya akan membangun sepuluh cabang baru di Jabodetabek.
Sebelumnya, ada Informa, yang memiliki cabang di 30 kota di Indonesia. Tentu saja, kita tidak bisa melupakan deretan toko furnitur di Klender, Jalan Pramuka, dan Jalan Otista, yang telah lebih dari 30 tahun jadi rujukan warga Jakarta.
HADRIANI PUDJIARTI | MARIA YUNIAR | PINGIT ARIA | MUHAMMAD KURNIANTO
Berita Terkait:
Meja dan Bantal Jadi Favorit di IKEA
IKEA Buka Toko, Pengusaha Lokal Jangan Cuma Nonton
Gaya Vintage, Perpaduan Ndeso Modern
Kenaikan Upah Gerus Laba Hero