TEMPO.CO, Jakarta - Anak yang terkena alergi memberikan beban biaya besar. "Kami hitung sekitar US$ 34,6 juta (Rp 445 miliar) selama enam tahun," ujar DR dr Astrid Sulistomo, MPH, Sp Ok, dalam acara pencegahan primer alergi di Hotel JW Marriot, Selasa, 17 Februari 2015. Angka tersebut hanyalah biaya langsung. Artinya, ongkos untuk membeli obat dan perawatan pada layanan kesehatan.
Astrid menjelaskan dampak alergi menyebar pula pada kehidupan sosial. Misalnya, anak jadi tidak sekolah karena sakit, orang tua tidak bekerja lantaran menemani anaknya, hingga kepercayaan diri yang turun karena munculnya ruam pada kulit. "Itu masalah kualitas hidup, tidak bisa dihitung dengan uang," ujar dokter dari Kedokteran Komunitas Universitas Indonesia ini.
Baca Juga:
Indonesia hingga saat ini belum menghitung efek biaya tidak langsung tersebut. Yang ada, kata Astrid, dalam penghitungan yang dilakukannya bersama dokter Zainudin Munasir tahun 2012 adalah biaya penghematan dengan intervensi nutrisi. Jika diberi konsumsi susu berhidrolisis, sebagai alternatif untuk alergi susu sapi, penghematan bisa diperoleh US$ 4 juta (Rp 51 juta). Belum lagi penurunan angka tanpa kekambuhan alergi selama 38 hari.
Alergi ini bukan penyakit yang bisa hilang paripurna. Untuk mencegah kemunculannya, Zakiudin menyarankan untuk menghindari pencetusnya. Kalau dari debu, ya, hindari debu. Begitu pun dengan makanan, misal kacang-kacangan. "Kalau tidak bisa, ya, minum obat," katanya. Pencegahan terakhir dengan imunoterapi atau terapi imun.
DIANING SARI