TEMPO.CO, Jakarta—Diiringi musik Opera Beijing yang riuh, para peragawati keluar dari panggung. Pakaiannya berwarna merah, kuning, biru, dan oranye dalam berbagai gradasi. Dalam aba-aba yang kompak—tentu tanpa hitungan yang terucap di panggung—mereka berpose sejurus. Lalu kemudian berdiri mematung beberapa detik, sebelum mengulangi prosesi yang sama selama beberapa kali. Itulah pembukaan peragaan busana My Name Is Asia karya desainer Oscar Lawalata di Jakarta Fashion and Food Festival yang digelar di Kelapa Gading, Senin, 25 Mei 2015.
Oscar mengangkat siluet pakaian oriental dengan sedikit kejutan. “Saya melihat ada semacam benang merah dari berbagai kebudayaan negara di Asia,” kata Oscar kepada Tempo ditemui usai peragaan busana di Hotel Harris Kelapa Gading. Dia merujuk pada beberapa pakaian seperti qi pao dari Cina, ao dai dari Vietnam dan kebaya ataupun baju bodo asal Indonesia. Semuanya tidak memiliki kerah tinggi bak pakaian era Vicotria dari Inggris.
“Lucunya, semuanya sebenarnya saling mempengaruhi. Jadi kalau anda melihat pakaian tadi, Cina bukan Indonesia pun bukan,” kata Oscar. Tarik menarik antar budaya itu membuat dia memilih batik pesisiran sebagai inspirasi koleksi kali ini. Oscar memang konsisten mengolah siluet pakaian yang terinspirasi dari pakaian tradisional Indonesia. Jika Oktober lalu dia mengolah tenun dari Sumba, kemudian motif totem, serta batik Jawa dalam siluet yang sedikit dekonstruktif, kali ini Oscar mengolah Asia secara keseluruhan.
“Yang saya lihat adalah pengaruh oriental yang muncul di wilayah-wilayah pantai kita. Saat itu kan penduduk di sana sangat terbuka terhadap berbagai macam kebudayaan,” ujar Oscar. Jejak-jejak budaya itu, bagi dia, tampak jelas dalam beragam batik yang muncul. Entah itu berupa motif burung Hong, hingga bunga ataupun penggunaan warna yang ngejreng.
Oscar mengaplikasikannya pada gaun panjang dengan siluet mirip kebaya pada bahan sutra. Beberapa aplikasi yang digunakannya antara lain kerancang dan bordir tangan. “Bordir tangan ini perlu kita beri perhatian karena sudah hampir punah sebenarnya. Apalagi, saat ini orang lebih banyak menggunakan bordir dengan komputer ataupun mesin,” kata dia. Tapi, kakak dari aktor sekaligus pebasket Mario Lawalata ini tidak mau membuat tafsiran yang terlalu harfiah dalam karyanya. Teknik kerancang dan bordir yang digunakannya tidak dilakukan terlalu banyak hingga mendominasi ornamen pakaiannya.
Sebaliknya, dia justru memilih untuk mengaplikasikannya secara terbatas pada kebaya yang dijadikan semacam gaun panjang, ataupun blus dengan siluet kebaya serta aksen draperi pada berbagai bagian. Rasanya seperti melihat pakaian petani wanita dari Cina. Tapi, mereka tak lagi pergi ke ladang. Kini mereka pergi ke pesta.
SUBKHAN