TEMPO.CO, Jakarta - Hepatitis C merupakan penyakit berbahaya yang belum ada vaksinnya. Ketua Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia Rino A. Gani mengatakan Hepatitis C disebabkan virus yang menyebabkan kerusakan hati.
Sebanyak 80 persen pasien datang ke rumah sakit saat kerusakan hati sudah mencapai tahap lanjut. “Kondisi seperti ini kadang tidak dapat diobati,” kata dokter spesialis penyakit dalam ini seperti ditulis Koran Tempo, Rabu, 12 Agustus 2015. Hepatitis C yang tidak diobati biasanya akan berlanjut menjadi penyakit kanker hati.
Hepatitis C berisiko ditularkan melalui darah yang terinfeksi. Misalnya pada penggunaan alat medis yang terkontaminasi virus, penggunaan jarum suntik, tindik, tato, dan alat cukur yang tidak steril. Hepatitis C juga menyebar melalui hubungan seksual, ibu kepada kandungannya—kasusnya sangat jarang. “Meski begitu, virus Hepatitis C tidak menular melalui air susu ibu,” ujar Rino dalam peringatan Hari Hepatitis Sedunia di Jakarta.
Penderita biasanya memiliki waktu 15–20 tahun mulai terinfeksi—virus masuk darah, menempel di hati, lalu berkembang biak, sampai terbentuknya kanker hati. Perkembangannya bergantung pada kondisi pasien, kebiasaan, genotipe virus, serta pengobatan.
Karena belum ada vaksinnya (tidak seperti Hepatitis A dan B), hanya ada dua cara yang bisa dilakukan. Pertama, kolaborasi immunomodulator—kandungan yang dapat mengubah cara kerja sistem kekebalan tubuh—dan anti virus yang diakui Badan Kesehatan Dunia, WHO.
Kedua, berupa pencegahan, dengan perilaku hidup sehat. Hati lebih awet dengan makan makanan sehat dan minum cukup air putih. Minuman beralkohol harus menjadi pantangan karena penyaringan dan pembuangan alkohol dapat mempercepat kerusakan hati.
Dokter Rino menyarankan kita melakukan uji saring darah di laboratorium untuk mendeteksi keberadaan virus Hepatitis C—disebut tes anti-HCV. Tes itu juga dapat dilakukan di Palang Merah Indonesia, meski tidak untuk donor.
CHETA NILAWATY