“Anak jadi mudah marah atau cepat kesal saat fisiknya kewalahan. Celakanya, seringkali orangtua tidak memahami anaknya butuh istirahat sepulang les. Anak pulang, masih ditanya lagi soal pelajaran, jika tidak bisa jawab, disuruh belajar lagi sampai larut malam.”
Anak yang merasa tertekan karena dituntut untuk menjadi ‘pintar’ melalui berbagai les tambahan juga berpotensi melakukan tindakan destruktif sebagai bentuk protes. Hal tersebut justru kontraproduktif dengan tujuan orang tua dalam mengkursuskan anaknya.
Gejala-gejala gangguan psikologis yang ditunjukkan oleh anak yang sedang stres biasanya berupa penurunan motivasi belajar, mudah lelah, sulit makan, banyak melakukan pelanggaran di sekolah, membuat kerusuhan di kelas, maupun menentang atau membantah orang tua.
“Manusia pada dasarnya membutuhkan istirahat. Banyak orangtua yang belum paham bahwa saat anak-anak belajar di sekolah, mereka telah mengeluarkan energi yang besar. Jadi, sebisa mungkin sepulang sekolah ada waktu untuk istirahat,” jelasnya.
Waktu istirahat bisa dalam bentuk tidur siang, sekadar rileks menonton televisi atau bermain gadget, maupun melakukan aktivitas lain yang disenangi anak untuk mengistirahatkan otak. Namun, banyak orang tua yang beranggapan aktivitas tersebut tidak berguna.
Berita Menarik:
Jatuh dari Lantai 15, Kematian Alumnus UI Ini Tak Wajar
Kenapa Mourinho Keok Hadapi Deretan Pelatih Berinisial P?
Untuk menghindarkan stres pada anak akibat terlalu banyak kursus tambahan, orangtua seharusnya membuat prioritas kegiatan mana yang memang penting bagi anaknya dan mana yang tidak.
“Meskipun anak dijejali les dari Senin sampai Sabtu, orangtua tetap harus membuat prioritas. Jangan melulu anak-anak dileskan pelajaran, bisa juga dikursuskan kesenian atau aktivitas kreatif seperti merakit robot, yang sifatnya sains tapi dikemas dalam format bermain," ujarnya.
Baca juga:
Buwas Ungkap Ada Pihak Ingin Dia Dimutasi & Penjelasan JK
Pencopotan Waseso, Luhut: Prajurit Tak Boleh Ancam Atasan