TEMPO.CO, Jakarta - Perpustakaan mungil di Jatinangor, Sumedang, itu membawa pemiliknya, Anton Solihin, ke Frankfurt Book Fair, pameran buku terbesar di dunia. "Saya diajak panitia karena dianggap pegiat literasi, padahal saya tak menilai diri sendiri begitu," ujarnya seperti ditulis Koran Tempo, Kamis, 10 September 2015. Dia merupakan satu di antara 70 anggota kontingen Indonesia, yang sebagian besar penulis.
Ruang baca bertajuk "Batu Api"--berdiri sejak 1999--itu mendapat tempat di banyak hati mahasiswa empat perguruan tinggi di Jatinangor: Universitas Padjadjaran (Unpad), Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), Institut Koperasi Indonesia (Ikopin), dan Universitas Winaya Mukti (Unwim), yang kampusnya kini diambil alih Institut Teknologi Bandung.
Anton, yang hafal persis letak setiap buku Batu Api, memperkirakan koleksinya hampir 10 ribu eksemplar. Itu belum termasuk majalah dan koran, kaset, cakram musik dan film, kliping berita, serta artikel lawas. Pria lulusan Fakultas Ilmu Sejarah Unpad ini mendeskripsikan pekerjaannya sebagai mendokumentasikan kebudayaan populer lewat media bacaan, musik, dan film.
Sebagian besar koleksi Anton tersimpan di ruang perpustakaan berbentuk "L" berukuran 5 x 7 meter. Terbentang teras asri di depannya. Rak kayu menjulang menutupi dinding hingga hampir menyentuh langit-langit. Isinya dari buku tentang pesantren sampai seks, kumpulan cerpen, hingga literatur sejarah dunia. Tarif sewanya, Rp 3.000 per pekan.
Ada juga lemari kaca yang dipadati kumpulan cakram musik album Frank Zappa dan Titiek Puspa. Aneka DVD film jadul Ermanno Olmi, Wong Kar-wai, dan sinema buatan Wes Anderson ikut bertengger. "Sejak awal, saya niatkan perpustakaan ini untuk menjadi tempat mahasiswa mengaso sepulang kuliah," kata Anton, 47 tahun.
Jumlah pelanggan Batu Api tercatat 9.000 orang, dari bocah yang terpingkal-pingkal membaca Tintin sampai buruh pabrik di Rancaekek, kecamatan tetangga Jatinangor. Dalam sehari ada 20-30 orang yang berkunjung ke sana. Nama-nama seperti Ayu Utami, Laksmi Pamuntjak, Remy Sylado, Seno Gumira Ajidarma, dan sejarawan Inggris, Peter Carey, pernah menggelar diskusi di Batu Api.
Kunjungan enam tahun lalu tampaknya cukup berkesan bagi Karim Raslan, kolumnis Malaysia. Seperti dikutip dari tulisannya yang dimuat di koran Malaysia, The Star, Karim menyebut Batu Api sebagai “Proyek sederhana, unik, tapi juga ambisius, seperti 'mempertemukan' Aristoteles dengan Marx, dalam upayanya membawa seni, sejarah, dan filsafat untuk dinikmati banyak orang.”
PRAGA UTAMA