TEMPO.CO, Surabaya - Wartawan Tempo, Endri Kurniawati, meluncurkan buku memoar pengalamannya menghadapi penyakit kanker payudara. Buku berjudul Kehidupan Kedua; Memoar Penyintas Kanker itu dibedah dalam diskusi di bekas kediaman pahlawan nasional H.O.S Tjokroaminoto di Jalan Peneleh VII, Surabaya, Sabtu, 31 Oktober 2015.
"Saya mengenal Mbak Endri sejak 2-3 tahun lalu, tapi wajahnya tidak sesegar sekarang," kata Agita Sukma Listyanti selaku moderator saat membuka diskusi.
Menurut Agita, kala itu Endri mengenakan wig dan tak banyak menceritakan mengenai penyakitnya. Endri sendiri berujar, sebelum mendapat vonis kanker pada 2012, ia menjalani profesi sebagai wartawan Tempo di Jakarta dengan penuh warna.
Ia mengaku pembosan. Jadi, selain menulis berita, ia menikmati berbisnis batik, beternak sapi, hingga bermain saham. "Saya bahkan dijuluki wartawan Tempo paling sehat karena menjaga makanan dan menyempatkan olahraga secara rutin 4-5 kali dalam sepekan," ujar Endri.
Meski rajin berolahraga dan menikmati hidup, ia mengalami perubahan dalam tubuhnya, seperti letih yang berkepanjangan dan lambung radang, sampai membuatnya kerap keluar-masuk rumah sakit. Hingga suatu hari, ia menemukan benjolan di dada kanan sebesar ruas jari saat mandi. Hasil pemeriksaan di rumah sakit di kawasan Jakarta Barat, benjolan itu adalah kanker stadium 2A. "Hidup saya seperti berhenti," tuturnya.
Walaupun syok, ia berusaha menerima kenyataan itu sebagai jatah dari Tuhan. Dalam kebingungan dan kehilangan kepercayaan terhadap masa depan, Endri berusaha berpikir jernih. "Saya mencari opini kedua kepada dokter di Surabaya. Dokter kedua tetap menyatakan saya mengidap kanker pada payudara kanan."
Keputusan operasi ia ambil meski mengakui itu bukan keputusan mudah. "Karena operasi, kan, menghilangkan sebagian dari identitas perempuan, yakni payudara. Namun buat apa saya mempertahankan punya payudara tampil seksi tapi laku percuma kalau umur saya pendek," ucapnya.
Operasi akhirnya dilakukan tiga pekan setelah dia dinyatakan mengidap kanker. Dukungan keluarga dan teman-teman membantu dia menjalani pemulihan kondisi psikis. Seusai operasi, giliran ketakutan luar biasa akan kematian yang menghinggapinya.
Suatu hari, kata Endri, Direktur Utama Tempo Bambang Harymurti mengirimi buku tentang pasien kanker yang berkelana ke dalam kehidupan setelah kematian saat koma. Kehidupan itu digambarkan indah. "Cerita itu seketika melenyapkan ketakutan saya. Saya mendadak enggak takut mati," kata Endri.
Endri lalu menemukan warna sebagai self yang membuatnya menemukan kesenangan. "Saya buka-buka batik cuma untuk melihat warnanya. Padahal saya dulu suka warna-warna gelap. Karena warna-warna tua menyeret saya ke hal-hal yang murung, pesimistis, dan gundah, saya simpan semua lalu mengganti apa pun yang berwarna," ujarnya.
Sedikit demi sedikit Endri memperbaiki psikis dan mulai bekerja lagi. Sekarang ia sudah agak membaik. "Meskipun saya baru percaya rencana jangka pendek. Inilah kehidupan kedua saya, menjalani sisa kehidupan yang diberikan dengan sebaik-baiknya."
ARTIKA RACHMI FARMITA