TEMPO.CO, Jakarta - Anak-anak muda keturunan Tionghoa ini memilih jalur yang berbeda dengan trahnya. Mereka mendobrak tradisi, sekaligus melawan stigma bahwa kelompok etnis Tionghoa tak melulu soal dagang. Ini sebagian dari mereka.
1. Yansen Kamto, Chief Executive Kibar, 34 tahun
“Saya Kapitalis-Idealis”
Yansen, pria kelahiran Pontianak, dengan suara bergetar menceritakan kembali diskriminasi yang pernah dialaminya. “Saya gudangnya pengalaman ditindas pribumi,” kata dia, Kamis, 4 Februari 2016.
Dari dimaki orang tak dikenal hanya karena berbincang dengan bahasa Mandarin, dipaksa mengalah saat bertanding basket oleh lawan dari tim sekolah negeri, sampai wejangan ibundanya yang memintanya buru-buru keluar, minta maaf, dan segera membayar ganti rugi apabila mengalami kecelakaan, sekalipun dirinya yang ditabrak mobil pribumi. “Ibu saya berulang kali bilang kami hanya menumpang di negeri orang,” Yansen mengungkapkan.
Pengalaman itu membuat Yansen berpikir bahwa ada yang keliru dalam sistem masyarakat. Lulusan University of Technology, Sidney, itu sampai pada kesimpulan bahwa kebencian pada kelompok etnis Cina juga dipicu keegoisan kelompok etnis ini yang cuma memikirkan bisnisnya sendiri.
Sejak itu, Yansen berikrar membangun bisnis yang bisa menyejahterakan rekan-rekannya. Maka dia tak ingin terjun ke bisnis konvensional. Keputusan ini yang sempat ditentang keluarga.
Namun Yansen gigih mewujudkan model bisnis yang menurut dia ideal. Tak sekadar memikirkan profit, tapi juga membimbing koleganya agar membangun bisnis serupa dalam kurun tertentu. Akhirnya, Yansen merintis Kibar, perusahaan di bidang kreatif, dengan sistem yang ia sebut inkubator.
Menurut dia, keberhasilan bisnis tak ada artinya jika gagal membuat karyawannya berdikari. “Saya seorang kapitalis yang idealis,” kata Yansen. Salah satu pencapaian penting Yansen ialah masuk rombongan Presiden Joko Widodo saat melawat ke Lembah Silikon, Amerika Serikat.
2. Ajun Komisaris Happy Saputra, Perwira Kepolisian, 31 tahun
Polisi Pelampau Batas
Bermula dari mimpi mulia membahagiakan orang tua, Ajun Komisaris Happy Saputra kini melejit menjadi perwira polisi peranakan Tionghoa yang berprestasi. “Saya mendaftar polisi untuk mewujudkan keinginan ayah yang tak kesampaian menjadi prajurit militer,” kata Happy.
Proses pendaftaran itu ditempuh dengan diam-diam. Happy tak memberi tahu keluarganya saat mengikuti rekrutmen taruna Akademi Kepolisian, sembilan tahun lalu. Dia sukses menyisihkan seribu kandidat seantero Jakarta dan menjadi salah satu dari 18 siswa asal Kepolisian Daerah Metro Jaya. “Tak ada sepeser pun uang yang saya keluarkan, kecuali untuk membeli meterai,” ujar Happy, yang sebelumnya sudah menggenggam gelar sarjana komputer dari Universitas Bina Nusantara.
Menjadi polisi dengan latar belakang peranakan Tionghoa tak membuat Happy minder. Dia mengaku sudah terbiasa bergaul dengan teman yang berasal dari suku, agama, dan ras yang berlainan dengannya. “Kebetulan rumah tinggal saya punya demografi yang sangat heterogen dan menghargai keberadaan keluarga kami,” kata dia.
Berkat latar belakang sebagai keturunan Tionghoa, Waka Senat di Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian ini pernah ditugaskan studi ke Cina selama 1,5 tahun. Kesempatan itu diperoleh lantaran Happy fasih berbahasa Mandarin dan Inggris.
Happy menganggap pencapaian itu melampaui batas-batas mimpi yang dia miliki tatkala masuk sebagai taruna Akademi Kepolisian. “Menjadi perwira polisi dari peranakan Tionghoa sekaligus melampaui batas yang mungkin mustahil terwujud puluhan tahun lalu,” ujar mantan Kepala Satuan Lalu Lintas Kepolisian Gresik ini.
3. William, Taruna Akademi Militer, 20 tahun
Dari Bukit Barisan ke Bukit Tidar
Plot kehidupan William, 20 tahun, saat ini bak melunasi mimpi masa kecilnya. Angan-angan itu muncul lantaran ia sering melihat gagahnya tentara di televisi. Lantas, pemilik nama Tionghoa, Yi Siong Cen, ini membulatkan tekad untuk ikut seleksi calon taruna dengan berlatih keras. “Saya melatih fisik dengan belajar bela diri dari ayah, rajin push up, berlari, dan sit up,” kata William, Selasa lalu.
Ia percaya diri dan memandang setiap warga Indonesia punya kesempatan yang sama menjadi tentara. Keseriusannya belajar dan berlatih mengantarnya lolos seleksi berlapis. William, yang menjadi wakil dari Komando Daerah Militer Bukit Barisan, Sumatera Utara, kini menempa diri menjadi prajurit tangguh di Bukit Tidar, lokasi Akademi Militer di Magelang berdiri.
Pengalaman dirinya membuat William menilai kelompok etnis Cina punya kesempatan yang sama bersaing dengan warga pribumi. Dia juga berpandangan sistem pemerintahan sekarang jauh lebih terbuka dan memberikan kesempatan bagi semua orang untuk berprestasi di berbagai bidang. “Kini setiap orang dilihat dari kemampuannya, bukan lagi dari etnis mana dia berasal,” kata William.
4. Ernest Prakasa, Pelawak Tunggal, 34 tahun
Menghapus Stigma Lewat Karya
Barangkali hanya Ernest Prakasa yang sanggup menjadikan realitas keturunan Tionghoa dalam dirinya sebagai bahan lawakan. Kocak tapi tak menyinggung perasaan orang lain.
Dia mengaku sengaja menyisipkan materi soal peranakan Tionghoa untuk menyadarkan masyarakat bahwa masa diskriminasi kelompok etnis sudah lewat. “Justru sekarang orang yang melontarkan ujaran berbau rasis yang dianggap aneh,” kata dia.
Tak hanya dalam kesempatan melawak, Ernest menyisipkan gagasan kesetaraan kelompok etnis. Dalam film terbarunya yang berjudul Ngenest, dia menciptakan plot yang menggambarkan rumitnya relasi keluarga jika tersekat oleh stigma kelompok etnis. “Saya tak menjadikan kampanye melawan stereotip etnis sebagai obsesi dalam berkarya, melainkan tanggung jawab pribadi karena disimak banyak orang,” ujarnya.
Aksi itu dilakukan Ernest lantaran dia pernah mengalami diskriminasi saat masih bocah. Memang bukan kekerasan fisik, melainkan kekerasan verbal yang diulang saban hari. “Akhirnya saya jadi kebal,” kata Ernest.
Kebetulan dia juga pernah dipersulit saat mengurus akta kelahiran anaknya, tujuh tahun lalu. Pegawai kelurahan mengamati kartu tanda penduduknya dan mendapati penanda bahwa Ernest merupakan warga keturunan Tionghoa. “Akhirnya diminta bayar administrasi akta sebesar dua kali lipat dari tarif normal,” tuturnya.
5. Letnan Dua Christina Widosari, Dokter TNI Angkatan Laut, 28 tahun
Si Penyimpang Trah
Sementara keluarga Letnan Dua Christina Widosari lebih memilih menjadi pengusaha, lain halnya dengan prajurit kelahiran Surabaya ini. Dia memutuskan untuk menyimpang dengan masuk menjadi anggota militer.
Meski begitu, Christina tak mendapat tentangan dari kedua orang tuanya. Mereka, kata dokter lulusan Universitas Hang Tuah itu, memotivasi dan memupuk kepercayaan diri sampai mengambil keputusan akhir.
Christina berkesempatan menempuh pendidikan kedokteran berkat beasiswa TNI. Dia memakai jalur perwira karier untuk mewujudkan impiannya. Awalnya, ia mengaku terinspirasi oleh dosennya semasa kuliah. “Dokter cewek tapi Korps Wanita Angkatan Laut. Rasanya pasti membanggakan dan saya ingin menjadi seperti dia,” kata Christina.
Christina sempat terkejut mendapati metode latihan militer. Sebab, dia tak akrab dengan kegiatan yang menguras fisik. “Saya orangnya enggak suka olahraga,” kata dia.
Menjadi prajurit dengan latar belakang peranakan Tionghoa tak membuat Christina menjumpai cibiran dari kolega. Hal terpenting bagi dia ialah bekerja sebaik mungkin mengobati pasien yang datang kepadanya.
6. Brigadir Yolla Bernanda, Bintara Kepolisian, 33 tahun
Mimpi Jadi Perempuan Kuat Terkabul
Yolla Bernanda terlahir dengan nama Chiang Mei Zhiang. Sebagai anak pengusaha, dia diharapkan mewarisi dinasti usaha di bidang konfeksi milik orang tuanya. Namun Yolla memilih takdirnya sendiri: menjadi polisi. "Sebetulnya keinginan saya bisa bergabung dengan US Army," kata Yolla, yang kini berpangkat brigadir, saat ditemui Tempo di Kepolisian Sektor Taman Sari, Jakarta Barat, Kamis, 4 Februari 2016.
Namun sebuah ketukan di pintu rumahnya pada 2004 mengubah plot cerita yang ingin dia bangun. Saat itu, seorang anggota Satuan Pembinaan Masyarakat Polsek Taman Sari datang membawa informasi bahwa kepolisian tengah mencari calon anggota berketurunan Tionghoa. Akhirnya dia memutuskan untuk meninggalkan bangku kuliah di Teknik Elektro Universitas Tarumanagara yang sudah dijalani dua tahun.
Yolla, yang menempuh jalur Sekolah Calon Bintara Polri, hampir tidak lolos karena faktor tinggi badan. Sentimen negatif ia terima dari sesama peserta saat proses seleksi. Beruntung, Kepala Polsek Taman Sari saat itu, Komisaris Polisi Reinhard Silitonga, memberi semangat.
Rintangan berikutnya datang dari ayahnya, yang menentang habis-habisan. Di mata ayahnya, menjadi polisi benar-benar “madesu (masa depan suram)”. Toh, ia tetap nekat. Yolla pergi dan mengikuti pendidikan polisi. Total delapan bulan ia tak bertegur sapa dengan ayahnya. Syukurlah, seiring dengan berjalannya waktu, kini hubungan keduanya sudah membaik.
Setelah menjadi polisi, Yolla mengaku mimpinya menjadi perempuan kuat seperti Rambo terwujud. "Saya bisa menangkap bandar narkoba. Pernah nangkep dengan bukti 14 kilogram sabu," kata perempuan yang mengagumi sosok Rambo, yang diperankan oleh aktor Silvester Stallone, itu. "Saya percaya ini jalan Tuhan untuk saya."
RR | DINI PRAMITRA (JAKARTA) | SHINTA MAHARANI (MAGELANG) | ARTIKA FARMITA (SURABAYA)
Catatan:
Artikel ini dimuat di Koran Tempo Akhir Pekan, Sabtu, 6 Februari 2016, dengan judul Para Pendekar Pendobrak Stigma.