TEMPO.CO, Jakarta -Coba memulai revolusi dari dapur. Mungkin itu yang tercetus dalam benak aktivis Usman Hamid, 39 tahun saat meresmikan tempat makan bersama kakak iparnya di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, Minggu 6 Maret 2016. Sleepless namanya, tapi belakangan masih belum buka 24 jam.
“Baru diresmikan jadi masih dalam proses pematangan sana-sini,” ujar Usman kepada Tempo, Senin 7 Maret 2016. Disela obrolan dengan Tempo, bahkan Usman tak segan sedikit disela dan ikut menggotong bangku untuk pelanggan bersama karyawannya.
Usman memiliki dua buah gerai di tempat makan berkonsep serupaPujasera—sentra tempat makan terdiri dari bermacam gerai—ini. satu gerai @diyoji menyajikan menu hotdog sedang satu lagi masih dirintis bersama koki Rahung Nasution.
Usman bukan bosan menjadi aktivis sehingga berpaling berbisnis kuliner. Justru ajakan kakak ipar untuk membangun bisnis ini dipikir punya peluang menjadi tempat berkumpul banyak orang guna bertukar pikiran. Belakangan menurutnya ruang diskusi untuk pembahasan isu sensitif atau khusus semakin direpresi.
Pria kelahiran jakarta 6 Mei ini melihat ruang makan bisa menjadi ruang publik. Usman menilai ruang kulinerbisa dihangatkan dengan menghadirkan tokoh-tokoh, aktivis, untuk ngobrol, diskusi apa saja.
Memulai bisnis kuliner diakuinya menyerap banyak energi. Tapi tak mengurangi Usman untuk tetap bergiat dalam aktivitas diskusi-diskusi dan pendampingan di ruang publik. “Tetap saya menjadi yang sebelumnya, masih. Tetap akan ngomongin HAM, politik. Saya sempet istirahat karena sekolah tapi sekolah membuat saya banyak berpikir.
Ia melanjutkan, kuliner pun bisa menjadi sarana refleksi dan magnet mengumpulkan banyak orang beragam identitas dan sudut pandang, tanpa perlu menciptakan ketegangan karena perbedaan. Referensi setiap orang boleh beda tapi biasanya urusan makanan meski beda selera bisa dinikmati dalam satu meja.
AISHA SHAIDRA