TEMPO.CO, Jakarta - Ikhtiar menyembuhkan trauma anak-anak akibat korban pedofilia membutuhkan pendampingan orang tua secara intensif. Menurut psikolog Ratih Ibrahim, hal itu disebabkan karena hanya orang tua yang mengetahui seberapa trauma si korban. “Orang tua terus mendampingi agar si anak bisa move on," ujar Ratih, Jumat, 17 Maret 2017.
Beberapa waktu lalu, Subdirektorat Reserse Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Metro Jaya berhasil membongkar jaringan pedofilia melalui akun Facebook Official Loly Candy's 18+. Empat orang pengelola akun dan pendiri akun itu ditangkap, 9 Maret 2017. Diketahui, telah banyak anak yang menjadi korban para predator tersebut.
Baca: Pedofilia Online, Polisi: Tersangka Bisa Bertambah
Ratih Ibrahim mengatakan trauma akibat pelecehan seksual adalah trauma yang serius. Dia mengibaratkan seperti luka fisik, ada yang cepat sembuh dan ada juga yang membutuhkan waktu lama.
"Luka fisik saja penyembuhannya tidak cepat, bagaimana dengan trauma? Kita hanya bisa mengira-ngira karena cuma bisa bertanya pada subjeknya yang masih anak-anak," kata Ratih. Hal ini menjadikan sulit menentukan level traumanya.
Baca: Polisi Cari Korban Lain Kasus Pornografi Online Spesialis...
Luka fisik setelah sembuh ada yang meninggalkan bekas dan masih bisa diperbaiki. "Kalau trauma bagaimana tahunya masih berbekas?” kata Ratih. Trauma itu bisa terlihat dari ekspresi, perilaku, dan apa yang dikatakannya. “Tapi, kebanyakan anak kecil tidak mengatakan apa-apa karena dia tidak paham sudah menjadi korban kejahatan seksual."
Untuk itu, proses terapi yang dilakukan biasanya berdasarkan keterangan orang tua atau orang dewasa. "Seberapa trauma itu yang terlihat, tapi apakah setelah (terapi) itu beres? Belum tentu, orang tua terus mendampingi," ujar Ratih.
Orang tua juga harus melindungi si anak dari pandangan negatif masyarakat. "Apalagi kalau foto dia ada di mana-mana, seperti kasus yang diedarkan di media sosial," katanya.
AFRILIA SURYANIS