TEMPO.CO, Jakarta -Setiap kali mendengar ada kasus KDRT (kekerasan dalam rumah tangga) yang menimpa pria, respons kebanyakan orang adalah cenderung menertawakannya. Bagaimana mungkin, sih pria dianiaya wanita? Bukankah biasanya wanita yang diperlakukan kasar oleh pria?(Bscs: Pakar: Pedofilia Penyakit Dunia Yang Sudah Tua!)
Anggia Chrisanti, konselor dan terapis di Biro Konsultasi Psikologi Westaria, membenarkan bahwa kenyataan yang terjadi memang seperti itu. Cukup sulit untuk kebanyakan orang membayangkan seseorang yang "lebih kuat" untuk disakiti seseorang yang "lebih lemah". Ketika ada seorang suami yang mengaku menjadi korban KDRT istrinya, hampir pasti olok-olok diarahkan kepada si pihak pria.
"Sebaiknya, kita semua bisa menahan diri untuk tidak serta merta menertawakan," kata Anggia. "Karena pada dasarnya, sama saja. Jelas ada KDRT yang dilakukan pria terhadap wanita atau wanita terhadap pria. Baik verbal maupun non verbal, sama saja," lanjutnya.
Hanya saja dijelaskan Anggia, ada perbedaan gaya antara wanita dan pria dalam melakukan kekerasan. Wanita lebih sering, namun seringnya tidak fatal. Pria lebih jarang, namun bisa dikatakan lebih fatal, terlebih jika sudah melibatkan tenaga besar yang secara alami mereka miliki. Akan tetapi, dari kadar "kekejian", kadang wanita bisa lebih keji. Dan pria bisa lebih lemah, karena pria masih lebih sering menahan, masih mempertimbangkan bahwa lawannya adalah seorang wanita.(Baca: Pendidikan Anak di Pesantren, Simak Analisa Pakar! )
"Karena hal ini pula, justru banyak korban KDRT pria yang tidak terungkap ke permukaan. Antara lain disebabkan rasa gengsi, malu, seringnya tidak dipercaya, dan tidak banyak lembaga yang cepat tanggap dan mau menangani kasus KDRT yang korbannya pria," papar Anggia. "Artinya, apapun alasannya, KDRT sangat mungkin terjadi kepada kedua belah pihak," imbuh Anggia.
Berdasarkan pengalaman menangani klien, Anggia menyebutkan beberapa pria korban KDRT yang datang untuk konseling terlihat lebih memiliki luka di dalam. Mereka lebih banyak menahan perasaan ketika menjadi korban KDRT. "Kalau wanita, ibaratnya, menjadi korban KDRT karena memang tidak mampu melawan. Tapi pria, jelas mereka bisa melawan. Hanya saja mereka lebih banyak yang menahan. Benar-benar menahan demi anak atau demi si istri itu sendiri," ungkap Anggia.
Stigma yang telanjur melekat, bahwa pria tidak boleh menangis, harus kuat, ini semakin memberatkan mereka. Bahkan mereka tidak bisa berteriak atau menjerit meminta tolong. Jika orang lain mendengar, hampir pasti selalu pihak wanita yang dibela.
"Ada, lo suami yang menghadapi istrinya yang marah-marah dengan diam, malah dilempari benda-benda seperti piring, remote, atau bahkan sepatu. Ini jelas menyakitkan bagi pria, terlebih jika harus menghadapinya terus menerus selama berumah tangga," pungkas Anggia.
TABLOIDBINTANG.COM
Baca Juga:
Stress Bisa Dikenali dari Sepuluh Hal Berikut Ini
Penanganan Korban Pedofilia Tak Cukup Hanya Diterapi Psikologis