TEMPO.CO, Tabanan -I Putu Sunarta, 47 tahun, sejenak memainkan gitar akustik buatannya yang bermerek Divart. Sunarta telah mendaftarkan Divart sebagai merek pada 2014. Intro lagu Soldier of Fortune dari grup musik Deep Purple dimainkan Sunarta untuk menjajal suara gitarnya. "Jenis gitar akustik tetap produk unggulan Divart," katanya pekan lalu, Selasa, 11 Juli 2017.
Sunarta adalah seniman ukir yang kini bekerja sebagai pembuat gitar. Semua gitarnya diproduksi di rumahnya di Banjar Dukuh, Desa Penebel, Kabupaten Tabanan. Di area rumahnya seluas 3 are itu, Sunarta menyediakan tempat seluas 5x12 meter di halaman untuk membuat gitar.
Baca juga:
Menurut Sunarta, gitar bermotif ukiran ornamen khas Bali memiliki daya tarik tersendiri bagi penggemar alat musik berdawai itu. "Memang jadi produk unggulan (motif ukiran). Saat di Pesta Kesenian Bali tahun 2014, gitar saya dibeli orang Belanda dan Prancis," ujarnya.
Bahkan belum lama ini ia baru saja menyelesaikan gitalele pesanan turis Belanda yang berlibur di Bali. Pekan ini, Sunarta juga baru saja menyelesaikan pesanan dari Lampung untuk membuat gitar akustik.
Minat Sunarta dalam dunia seni sesungguhnya bukanlah di bidang musik, tetapi ukiran. "Bermain musik cuma hobi saja. Pernah punya grup musik tapi sekadar iseng-iseng saja," tuturnya.
Baca juga:
Pada 1994, ia ingin sekali memiliki gitar untuk dimainkan sendiri. Namun kondisi keuangan tidak memungkinkan dia mewujudkan keinginannya itu. Gitar model Ibanez RG warna merah adalah karya pertamanya, bermodal contoh dari gitar temannya, juga kemampuan dan peralatan seadanya.
Pada tahun itu Sunarta sudah belajar mengukir kayu untuk menghias pintu. Pertengahan 1996, ia belajar mengukir di Ubud, Kabupaten Gianyar. Penghasilan sebagai pengukir sudah terasa bernilai untuk kehidupannya.
Sunarta juga pernah berbisnis airbrush di rumahnya pada 1998. Ia melayani pesanan untuk mengecat mobil dan sepeda motor. Hanya bertahan sampai 2002 ia kembali ikut bekerja mengukir dengan orang lain.
Pada 2006, Sunarta berhenti mengukir. Ia kemudian diajak salah satu temannya mengurus studio musik. Di sana ia belajar memperbaiki gitar yang rusak. Kemampuan memperbaiki gitar itu membuat salah satu pelanggan studio meminta Sunarta membuat gitar jenis Ibanez JS.
Sama seperti pada 1994, ia mengerjakan pesanan itu dengan kemampuan dan alat yang terbatas. Namun dari kesempatan itu ia mulai fokus menekuni cara membuat gitar. "Tahun 2008 dipicu kemajuan teknologi akses internet banyak dapat informasi," tuturnya.
Ketika sudah mahir, pesanan gitar pun melonjak. "Awalnya bertahap dari hanya di (kabupaten Tabanan) saja. Kemudian sampai se-Bali," ujarnya.
Sunarta mematok harga gitar akustik Divart ukiran kisaran Rp. 4 juta. Paling mahal bisa menembus harga Rp. 12 juta. Sedangkan gitar berwarna polos kisaran harga Rp. 1,5 juta sampai Rp. 2,5 juta.
Adapun gitar elektrik yang berwarna polos dipatok harga paling murah Rp. 1,5 juta, sedangkan tertinggi Rp. 6 juta. Gitar elektrik jenis ukiran berkisar antara Rp. 8 juta sampai Rp. 10 juta.
Media sosial Facebook ia gunakan untuk memperluas jaringan pemasaran. Pada 2010 Sunarta membuat akun Facebook bernama Bengkel Gitar Guru. Nama Divart dipilih menjadi merek karena terdiri atas dua kata yang berkesan baginya. "Div bahasa Sanskerta artinya sinar dan art dari bahasa Inggris, berarti seni," katanya.
Dalam menjalankan bisnisnya, Sunarta saat ini dibantu dua anaknya. Anak pertama, I Gede Putu Susila Dananjaya, 18 tahun yang hobi menekuni musik membantu ayahnya untuk menguji kualitas gitar dalam tahap penyelesaian akhir.
"Saya mengembangkan hobi musik untuk cek kontrol nada, fals atau tidak," tutur I Gede Putu Susila Dananjaya.
Pemasaran melalui media sosial, Sunarta dibantu anaknya yang kedua, Gede Made Visnha Palguna, 16 tahun. Visnha membuat akun Instagram, Divart_Guitar_Official yang dibuat sejak awal 2017. "Inisiatif saya untuk jangkauan, Instagram lebih banyak," kata Gede Made Visnha Palguna.
BRAM SETIAWAN