TEMPO.CO, Jakarta - Benarkah cokelat menyehatkan? Jika benar menyehatkan, dapatkan kita makan sebanyak yang kita inginkan? Meski “clean eating” mulai digandrungi oleh banyak penduduk di negara maju, sepertinya penduduk di Inggris tidak dapat beralih dari diet dan olahraga.
Baca: Cokelat Bisa Memperbaiki Fungsi Otak, Ini Buktinya
Clean eating sendiri sebenarnya gaya hidup, bukan diet. Jika berat badan seseorang sudah turun secara signifikan, diet yang dilakukan otomatis berhenti, namun tidak demikian dengan clean eating. Clean eating akan tetap dilakukan. Clean eating mengharuskan seseorang mengonsumsi makanan alami dengan proses pengolahan (masak) sehat, seperti kukus, rebus atau panggang dengan sedikit garam, gula dan minyak.
Setiap hari, selalu ada produk “sehat” baru yang diperkenalkan. Tidak sedikit orang yang merasa penasaran dan akhirnya tergiur untuk membeli. Padahal, harga yang dibanderol tidaklah murah. Makanan tinggi protein, makanan bebas gluten, makanan bebas gula, makanan dengan bahan-bahan alami dan lainnya, label tersebut memang ditujukan agar konsumen beranggapan bahwa dirinya sudah memilih makanan yang tepat dan sehat. Salah satunya adalah cokelat.
Penemuan terakhir yang dilakukan oleh Mintel menunjukkan bahwa 37 persen orang tertarik pada jenis cokelat yang menggunakan bahan-bahan alami, 35 persen memilih cokelat rendah gula dan 27 persen lainnya menjatuhkan pilihan pada cokelat bebas pemanis buatan.
Kebanyakan produsen cokelat mengklaim bahwa produknya menggunakan bahan-bahan alami, bebas gluten bahkan bebas pemanis buatan. Untuk menutupi kebohongan mereka mengenai bahan cokelat yang seharusnya digunakan dalam pembuatan cokelat klasik – sebut saja susu, gula, cocoa butter, massa cocoa dan minyak sayur – dimana dikategorikan sebagai cokelat “sehat” terbuat dari bubuk kakao, cacao butter dan kakao murni, biasanya diberi pemanis berupa kurma atau nektar agave.
Sementara itu, banyak food blogger yang mengklaim bahwa raw chocolate dimana biji cokelatnya diolah dengan suhu di bawah 42 derajat Celcius, kaya akan vitamin dan mineral, termasuk magnesium, zat besi, flavonoids, fosfor dan kalsium, serta kaya akan antioksidan. Raw chocolate digembar-gemborkan dapat menurunkan risiko penyakit jantung, meningkatkan energi bahkan melindungi kulit dari bahaya sinar UV.
Meski demikian, raw chocolate dapat membuat ketagihan, sebab tinggi akan kafein (biji kalao tidak dipanggang yang digunakan sebagai bahan utama raw chocolate mengandung kafein setara dengan biji kopi), beberapa ahli bahkan mengatakan bahwa raw chocolate beracun.
Pada akhirnya, gula ya tetap gula, terlepas dari gula palem atau gula putih. Nichola Whitehead asal Inggris, ahli nutrisi percaya bahwa seharusnya konsumen tidak dibutakan dengan bahan-bahan yang terdengar sehat seperti nektar agave atau gula tebu organik.
Dark chocolate dengan 75 persen kokoa murni lebih banyak mengandung manfat dibanding cokelat susu yang sarat akan gula. “Semakin tinggi presentase kokoa, maka semakin tinggi pula kandungan antioksidan. Dengan kata lain, semakin sedikit gula yang akan ditambahkan ke dalamnya,” ujar Whitehead.
Ahli nutrisi lain, Rhiannon Lambert setuju dengan apa yang diutarakan oleh Whitehead. Dirinya berkata, “Saya sendiri tidak begitu paham dengan cokelat tidak sehat dan sehat. Mungkin akan lebih tepat jika dikategorikan berdasarkan kualitas, yang rendah gula dan tinggi kandungan kakaonya.”
“Ya, cokelat yang kandungan kakaonya lebih tinggi tentu lebih bernutrisi, sebab mengandung banyak magnesium. Namun, pengonsumsiannya tidak boleh berlebihan. Jangan menyamakan cokelat seperti semangkuk bayam,” ujar ahli nutrisi lain bernama Amanda Hamilton.
Terakhir, Whitehead menyimpulkan, “Tidak berlebihan bukan berarti kurang, itulah mottoku… bahkan untuk cokelat sekalipun yang terlihat sehat!”
INDEPENDENT UK | ESKANISA RAMADIANI