TEMPO.CO, Jakarta - Selain kerugian materi, beban psikologi akibat penipuan yang dilakukan biro perjalanan umrah First Travel pun menjadi beban para korbannya.
Meski pasangan suami istri Andika Surachman (31) dan Anniesa Hasibuan (31) telah ditetapkan sebagai tersangka namun status tersebut belum bisa mengembalikan kerugian yang dialami 56.682 korban. Mereka menuntut pengembalian uang yang sampai saat ini belum ada titik terang.
Pun kalau materi dikembalikan, kerugian dari sisi psikologis susah dihilangkan. Salah satu korban bernama Ratna Sari (31). Ia menceritakan dirinya tertarik mendaftar umrah bersama sang ibu setelah mendengar cerita temannya yang berhasil berangkat umrah dengan First Travel pada 2015 silam. Pada Maret 2016, ia membayar 14 juta rupiah per orang dan dijanjikan berangkat Januari 2017. : Seracen Guncang Media Sosial, Picu Stres Pasca Trauma
Janji tidak ditepati. Mei 2017 Ratna diminta membayar 2,5 juta rupiah yang harus dipenuhi dalam tiga hari dan mereka akan diberangkatkan dengan pesawat carteran. Janji tinggal janji. Sampai sekarang mereka tidak berangkat. Kecewa, Ratna meminta pengembalian dana. Namun belum membuahkan hasil. Yang ada, ia harus bolak-balik ke kantor First Travel untuk proses pengambilan kembali dokumen, mengembalikan koper, dan lain-lain.
“Kerugian kami bukan hanya materi, tetapi juga waktu, tenaga, dan pikiran!” seru Ratna geram. Yang membuat pilu, Ratna memberangkatkan umrah ibunya dari uang yang ia kumpulkan sejak awal bekerja. "Saya niatkan mengumpulkan uang untuk itu. Mengapa ada yang tega menipu seperti ini?” sergah Ratna.
First Travel bukan satu-satunya biro umrah yang mengecewakan jemaah. Cerita kami dapatkan dari Registi Adinda (30). Ia merasa tertipu oleh biro perjalanan umrah Kafilah Rindu Ka'bah. April 2015 ia mendaftar umrah dengan biaya 13 juta rupiah dan dijadwalkan berangkat 24 Desember 2015. “Saya tidak curiga karena harga tersebut harga promo. Dan benar ada kenalan yang berangkat dengan biro umrah ini,” kata Registi.
Kejanggalan mulai terasa beberapa minggu menjelang keberangkatan Registi diminta tambahan dana sebesar 100 dolar AS dengan alasan ada kenaikan tarif hotel. Ternyata janji dari pihak biro perjalanan tidak pernah terwujud. Registi tidak sendirian. Ada beberapa korban lain yang mengalami kejadian serupa.
“Saya meminta dana dikembalikan sejak Februari 2016. Nyatanya sampai sekarang belum dikembalikan sepeserpun,” ucap Registi. Baca:Sensasi Baby Shark Challenge, Youtube Pinkfong Naik 300 Persen)
Perasaan Registi campur aduk. Sedih, kecewa, marah jadi satu. “Saya sudah telanjur mengatur jadwal cuti kerja, juga malu karena sudah telanjur memberi tahu tetangga dan teman-teman. Kerugian itu tidak bisa digantikan materi. Sakitnya, tuh di mana-mana!” kata Registi.
Sakit hati dan malu menjadi beban psikologis lumrah yang dirasakan para korban yang gagal berangkat umrah.
“Ada rasa bangga bagi orang yang akan berangkat umrah. Minimal mereka bilang ke keluarga dan teman-teman dekat. Apalagi kalau di kampung biasanya ada tradisi membuat acara syukuran dan pengajian sebelum berangkat umrah. Ketika akhirnya mereka gagal berangkat, ada rasa malu,” urai Anggia Chrisanti, konselor dan terapis di Biro Konsultasi Psikologi Westaria.
Rasa malu akibat gagal berangkat umrah bahkan bisa memicu stres hingga depresi. Anggia menyarankan untuk mengedepankan rasa ikhlas dan melakukan terapi. “Ikhlaskan diri atas semua hal. Mau menangis, silakan. Karena memang ini musibah. Namun lebih efektif jika menyembuhkan diri menggunakan metode self healing,” kata Anggia.
Tidak kalah penting, instrospeksi diri. “Betul ada korban tertipu tapi ada juga yang tidak tertipu. Mengapa harus kita? Apa ada dosa yang pernah dilakukan? Apa ada niat yang belum benar dalam ibadah ini? Apa ada yang haram dalam kehidupan ini yang masih dipelihara? Coba renungkan lagi,” pungkas Anggia. Baca: Momozen, Menikmati Hidangan Non Kambing ala Prancis