TEMPO.CO, Jakarta - Dosen Komunikasi Ilmu Komuikasi Universitas Indonesia Nina Mutmainnah mengatakan gempuran iklan rokok di Indonesia mirip dengan kondisi di Amerika sebelum tahun 1971.
Saat itu, di Amerika Serikat tayangan iklan rokok banyak sekali di televisi. “Saking banyaknya (penayangan iklan rokok), pemerintah Amerika Serikat saat itu sampai mengeluarkan aturan setiap penayangan 3 iklan rokok, televisi wajib menayangkan 1 iklan layanan masyarakat.,” kata Nina dalam acara Kampanye Iklan Layanan Masyarakat “Batuk Rokok” di Kementerian Kesehatan Selasa 5 September 2017.
Menurut Nina, banyaknya iklan rokok yang tayang di televisi sempat meningkatkan jumlah perokok muda di negara Abang Sam itu. Akhirnya pada 1971 iklan rokok ditiadakan sama sekali. “Indonesia butuh penegasan iklan rokok seperti itu,” katanya. Baca:Aplikasi Poligami, Pertarungan dalam Hukum dan Godaan
Nina berharap pemerintah Indonesia mengeluarkan aturan penayangan iklan layanan masyarakat yang sama dengan Amerika. Sehingga masyarakat, terutama anak muda tidak terpapar ajakan merokok melalui iklan itu.
Dari hasil penelitian pada 2016, kata Nina, salah satu merek rokok menghabiskan anggaran sebanyak Rp 1,9 triliun rupiah pertahunnya untuk membuat iklan di televisi. Hasilnya selama setahun itu, ada 43.062 penayangan selama setahun. “Itu baru satu merek, padahal masih banyak merek iklan rokok lain yang juga tayang. Perlu banyak iklan layanan masyarakat untuk menyaingi gempuran iklan rokok itu,” katanya.
Kementerian Kesehatan baru merilis iklan layanan masyarakat berjudul “Batuk Perokok” sejak Agustus lalu. Iklan yang berdurasi 30 detik itu mengangkat penyakit akibat rokok. “Iklan ini menekankan bahwa batuk seorang yang merokok merupakan tanda awal kerusakan tubuh,” kata Direktur Promosi Kesehatan Masyarakat Kementerian kesehatan Eni Gustina pada kesempatan yang sama.
Cuplikan pada tayangan yang sudah mulai dirilis pada Agustus 2017 itu menampilkan gambar asli dari korban yang menderita karena penyakit yang diakibatkan oleh rokok. Misalnya ada Richard Maradona. Pria 35 tahun yang harus dioperasi akibat penyakit paru karena merokok. Ada pula Edison Poltak Siahaan, pria 78 tahun yang menderita kanker tenggorokan. Terakhir adalah Cecep Sopandi yang sebelum usia 40 yang harus mengamputasi ibu jari kakinya akibat penyakit Buerger. Baca:Gila Kerja Bukan Kebanggaan, Fisik Terancam Kenali 6 Tandanya
Eni berharap kampanye iklan ini membuat perokok yang melihatnya berhenti merokok serta orang yang ingin mencoba merokok jadi mengurungkan niatnya. Jumlah perokok muda di Indonesia memang terus meningkat. Global Adult Tobacco Survey : Indonesia Report 2011 mengindikasikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan jumlah prevalensi perokok aktif tertinggi di dunia. Data itu menunjukan 67 persen pria merokok, sedangkan 2,7 persen wanita merokok.
Perokok muda yang semakin banyak pun semakin mengkhawatirkan. Menurut Eni, The Tobacco Atlas menyatakan lebih dari 2,6 juta anak Indonesia dan 53,7 juta orang dewasa mengkonsumsi tembakau setiap harinya. “Mereka terdiri dari 57,1 persen pria dan 3,6 persen wanita serta 41 persen anak lelaki dan 3,5 persen anak perempuan,” kata Eni.
MITRA TARIGAN