TEMPO Interaktif, Jakarta: Sutan Sjahrir pada usia 20 tahun menginjakkan kaki di Amsterdam, Belanda, pada 1929 untuk kuliah. Sesampai di sana, Sjahrir menulis surat kepada Ketua Perkumpulan Mahasiswa Sosial Demokrat Amsterdam, yang juga seorang wartawan, Salomon Tas (Sol Tas), meminta informasi tentang sosialisme dan gerakan sosialis. Sol Tas langsung mengayuh sepedanya menuju flat Sjahrir begitu menerima surat itu.
Pertemuan pertama itu memukau Sol Tas, sampai ia teringat akan gesture Sjahrir yang kecil. “Saya lihat seorang pemuda, kecil, ramping, dan berperawakan seimbang. Tapi yang memukau saya adalah mukanya: penuh karakter,” begitu kenangan Sol Tas dalam tulisannya “Kenangan pada Sjahrir” dalam buku Mengenang Sjahrir ini.Gambaran Sol Tas tentang perawakan Sjahrir itu sama dengan Mohamad Roem, tokoh Masyumi. Sjahrir, kata Roem dalam artikelnya “Bung Kecil yang Berbuat Besar”, memiliki nama kesayangan, yaitu Bung Kecil, karena badannya memang kecil. Panggilan ini hanya diketahui oleh keluarga, kerabat, dan kawan seideologi Sjahrir.
Buku yang diterbitkan Gramedia Pustaka Utama ini lebih cocok disebut kumpulan tulisan. Artikel-artikel itu ditulis oleh orang yang memiliki kenangan bersama Sjahrir baik sebentar maupun lama, seperti Mohammad Hatta, Roem, Sol Tas, P. Sanders, dan beberapa kalangan sejarawan serta wartawan.
Dari 35 artikel itu tidak ada yang berasal dari Bung Karno. Hal ini menarik karena Bung Karno dan Sjahrir, menurut Hatta dan Roem, kurang akur. Puncaknya ketika Sjahrir menghardik sang Kepala Negara, “Houd je mond (tutup mulut kamu),” karena bernyanyi terlalu keras. Bung Karno tersinggung karena hardikan itu tak pantas ia terima sebagai kepala negara.Sjahrir adalah diplomat ulung. Sjahrir menjadi juru bicara Republik ketika Belanda datang kembali ke Indonesia bersama sekutunya, Inggris, setelah menang melawan Jerman. Salah satu delegasi Belanda, Prof P. Sanders, menuliskan peran Sjahrir dalam perundingan yang dikenal sebagai Perjanjian Linggarjati itu.
Sjahrir, yang menurut Sol Tas tak suka malu-malu, kali ini sedikit basa-basi. Misalkan ketika ketua delegasi Belanda, Schermerhorn, mengajukan tawaran Negara Indonesia Serikat sebagai salah satu “Uni” di bawah Kerajaan Belanda. Sjahrir, kata Sanders, dengan tenang bertanya balik apakah pihak Belanda mempertimbangkan tawaran Indonesia, yang menginginkan tidak di bawah Ratu Belanda. Schermerhorn cepat menimpali, “Tidak, maka kami akan pergi pulang.” Melihat kebuntuan itu, Sjahrir, dengan senyumnya yang menawan, kata Sanders, malah mengajak Schermerhorn bersantai. “Saya kira lebih baik kita pergi makan saja,” kata Sjahrir seperti yang ditirukan Sanders.
Peran besar Sjahrir tak banyak diketahui masyarakat. Tenggelamnya jasa besar Sjahrir itu karena sampai akhir hayatnya, April 1966, ia masih berstatus tahanan politik tanpa pengadilan. Ia ditahan sejak 1962 setelah Presiden Soekarno membubarkan partai besutannya, Partai Sosialis Indonesia (PSI), dan Masyumi dua tahun sebelumnya. Sjahrir bersama Roem ditahan di penjara Jalan Wilis, Madiun, Jawa Timur.
Bung Kecil itu sudah kenyang dengan penjara sejak ditangkap Belanda pada 1 Maret 1934 dengan tuduhan mengganggu ketertiban lewat organisasi pemuda Pendidikan Nasional Indonesia. Dia bersama Hatta diasingkan di Boven Digoel, lalu dipindahkan ke Banda Neira.
Tulisan Hatta mengenai Sjahrir sangat terperinci dan kronologis. Sjahrir disebut Hatta sebagai orang yang tak tahan dengan kesepian. Mengenai itu, Roem setuju karena Hatta hidup selama satu dasawarsa dengan Sjahrir di pengasingan dan berkawan sejak muda. “Saya rasa tidak seorang yang mengenal Sjahrir seperti Bung Hatta,” begitu Roem menuliskan pendapatnya.
Sayangnya, artikel-artikel kuno itu kurang tersusun rapi. Buku ini kurang mengalir menggambarkan perjalanan Sjahrir. Apalagi beberapa tulisan masih dalam struktur kalimat “jadul” (zaman dulu) dan hasil terjemahan bahasa asing yang sulit menangkap maksud si penulis. Misalkan tulisan Sanders yang diberi judul “Sjahrir dan Perjanjian Linggarjati”, kalimatnya terlalu panjang.
“Dalam pembicaraan-pembicaraan berikutnya dalam tubuh Komisi Jenderal, anggotanya, Tuan van Poll mengusulkan untuk menembus keadaan yang menghadapi jalan buntu itu dengan tidak meminta “persetujuan” atas dokumen-dokumen yang dibuat di negeri Belanda itu dari Republik, tetapi hanya suatu keterangan bahwa mereka kiranya tidak akan menganggap negeri Belanda terikat kepada apa pun yang lebih banyak atau lain daripada yang terdapat dalam dokumen-dokumen itu.” Seharusnya editor mampu membenahi kalimat tersebut.
Buku ini lebih enak dibaca jika pembuat buku menggolongkan cerita Sjahrir dalam periode-periode tertentu. Misalnya dengan membagi perjalanan Sjahrir saat masa kecil, saat di Belanda, di tempat pengasingan Boven Digoel dan Banda Neira, hingga masuk penjara di Madiun. Sehingga pembaca akan lebih mudah mengenang Sjahrir.
Beragamnya tulisan pelaku sejarah ini memang memberi kekayaan sejarah tentang Sjahrir. Tapi tak bisa dimungkiri, beberapa tulisan kadang berlarut-larut bercerita tanpa menyinggung sosok Sjahrir. Mungkin penulis ingin menceritakan konteks cerita yang ditulisnya. Akibatnya, banyak kalimat yang diikuti anak kalimat. Lagi-lagi editor seharusnya mampu membersihkan konteks-konteks cerita yang mengganggu itu.
AKBAR TRI KURNIAWAN
Judul: Mengenang SjahrirEditor: H. Rosihan Anwar
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Edisi I: 2010
Tebal: xlv + 469