Sayang, buku setebal 305 halaman itu cuma dicetak 1000 eksemplar, dan belum dijual untuk umum. Karena itu, kepada Tempo Alberthiene yang pernah menjadi wartawan Femina membocorkan sebagian isi buku yang ditulisnya sejak Maret tahun lalu itu. Berikut ini petikan bincang-bincag Tempo dengan mantan wartawan femina itu.
Pengalaman menarik selama membuat buku? Ani merupakan pelawak. Saat remaja Ani sering menghadiri pesta. Nah beliau sering memakai sepatu yang talinya sampai paha. Fotonya ditunjukkan ke saya. Spontan langsung saya ledek, “Ih, Bu Ani agogo (gaya dansa tahun 1970-an).” Ternyata beliau tidak marah justru ketawa, padahal saya agak takut kalau marah. Beliau cukup menyenangkan dan egaliter. Pernah juga makan menggunakan tangan bersama saya.
Ada hambatan?
Nyaris tidak ada. Ani pencerita yang ulung. Dia sudah tahu orang menulis butuh apa. Maka dia menyiapkan satu cerita yang jelas, detail, lengkap dengan alurnya, dan tidak loncat-loncat. Daya ingatnya luar biasa. Dia juga ikut mengedit. SBY, anak-anak, dan anggota keluarga lain juga sering ikut dalam proses wawancara saya. Saya justru tegang saat peluncuran. Saya tegang karena pidato di depan kabinet.
Sesulit apa bertemu dengan Ani?
Bertemu beliau tentu tidak bisa sembarangan. Sebagai Ibu Negara kesibukannya luar biasa, pergi ke luar kota. Tapi sekali ketemu bisa empat jam kami berbincang. Wawancara berlangsung di Cikeas, Istana Negara, Istana Tampak Siring (Bali), Cipanas. Kami memanfaatkan waktu di tengah kunjungan. Paling banyak di Istana Negara dan Cikeas.
Apa isi dalam buku itu?
Ada tiga hal, pertama bagaimana Ani mampu mewarnai hidupnya dalam kondisi apapun, buku ini juga menghangatkan kembali kenangan tentang Sarwo Edhi (ayah Ani). Ketiga menceritakan rasa otentik sebagai ibu negara. Orang tahunya Ibu Negara itu nikmat, indah, dipuji. Tapi orang tidak tahu dari hari ke hari bahwa menjadi Ibu Negara kerap merasakan kesepian. Tidak boleh arisan, tidak boleh curhat ke sembarang orang.
Seberapa besar pengaruh Ani kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)?
Besar. Ani menjamin rumah tangga yang tenag. Ani menciptakan kondisi rumah yang aman terlebih dulu. Ani yakin karir suami akan langgeng jika tidak diributkan urusan rumah. Jadi Ani menjalankan apa saja tugas rumah tangga dengan gaji berapapun. Bu Ani rela berkorban demi keluarga seperti saat dia harus keluar dari Kedokteran UKI demi keluarga.
SBY sering minta pertimbangan isterinya?
Kalau minta pertimbangan dalam bidang politik tidak ada. Ani meralat anggapan orang bahwa dia mempengaruhi. Dulu pernah Ani membantu SBY membuat paper saat mendapat tugas. Ani membantu mengetikan. Sampai sekarang sebelum SBY maju berpidato, dengan spontan Ani akan mencatat poin yang penting. Misalkan saat kunjungan, ada gubernur yang pidato. Ani akan mencatat dan diberikan kepada SBY. Ini bahan untuk SBY memberikan kilas balik dan tanggapan. Buat dia itu bantuan yang wajar. Sejak SBY berpangkat letnan, Ani banyak memberikan bantuan. Termasuk saat SBY membuat Partai Demokrat. Ani membantu mencarikan warna biru untuk lambangnya, menyusun manifesto politik. Tapi saat SBY menjadi Presiden, SBY membedakan mana urusan politik antara SBY dan menteri, Ani tidak boleh tahu dan mana yang Ani boleh tahu. SBY memberi saran bidang apa saja yang pantas diurusi Ibu Negara. Intinya ada dua hal jangan berbisnis dan berpolitik.
Ani menyiapkan diri menjadi Presiden 2014?
Di kalimat terakhir ditulis, “Apapun orang mengatakan saya akan jadi presiden adalah salah besar. Karena kebanggaan buat saya jika berhasil mengantarkan SBY menyelesaikan tugasnya sampai 2014. Setelah itu pangkat saya hanya satu yakni tetap isteri SBY, Bu Bambang.” Kata-kata saya tidak mau menjadi presiden ada dalam penutup buku ini.
Akbar Tri Kurniawan