TEMPO Interaktif,
Jakarta - Julia Robert sempat terkagum-kagum menyaksikan sehelai batik Cirebon bermotif mega mendung yang dikenakan artis senior Christine Hakim. Pemeran Elizabeth di film Eat, Pray, Love yang mengambil shooting di Ubud, Bali, ini tak henti-hentinya memegang halus kain batik tersebut.
"Dia bilang kain batik ini indah, warna dan motifnya cantik," kata Christine menuturkan rasa kagum pemeran Pretty Woman itu.
Batik di mata Christine Hakim bukan hanya identitas diri. "Buat saya, batik merupakan bagian dari promosi negeri ini. Setiap saya ke luar negeri, saya selalu membawa koleksi batik, baik yang saya beli di perajin kecil maupun koleksi perancang lokal ternama," ujarnya panjang-lebar.
Menurut Christine, setahun seusai United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) memberi pengakuan batik sebagai salah satu warisan budaya Indonesia di Abu Dhabi pada 2 Oktober tahun lalu merupakan angin segar. Apalagi kemudian pemerintah menetapkan setiap tanggal tersebut menjadi Hari Batik Nasional. "Ini menjadi tonggak sejarah penting," ujarnya.
Senada dengan Christine, perancang Edward Hutabarat menyerukan semangat yang sama. Jumat lalu, bertempat di Museum Nasional, Jakarta, Edo-demikian Edward Hutabarat biasa disapa, mengobarkan semangat untuk mengenakan batik dengan slogan "Cintaku pada Batik Takkan Pernah Pudar".
Selain menggelar peragaan busana, di acara itu Edo membeberkan bagaimana proses kecintaannya kepada kampung-kampung batik yang tersebar di seluruh Indonesia sebagai sumber inspirasi karyanya.
Bagi Edo, batik merupakan ekspresi kreativitas dan spiritual kehidupan rakyat yang telah naik kelas dan mendapat pengakuan internasional. "Saya memang menyajikan batik untuk kalangan papan atas.
Tapi saya pun ingin mengangkat kecintaan dan proses perjuangan hidup pembatik lengkap dengan sinergi lingkungan sekitar, seperti alam, kuliner, kerajinan, way of life sebuah kampung batik," tuturnya.
Dengan memberi cerita panjang pada setiap batik yang dirancang menjadi karya indah di tangannya, Edo menginginkan batik bukan hanya sebagai bagian masa lalu, tapi juga untuk masa kini, yang tetap eksis di masa datang. Batik harus menjadi identitas dan kecintaan yang pada kehidupan modern yang tidak boleh hilang begitu saja dan memudar.
"Biar kalangan atas yang membeli batik saya tahu persis bagaimana proses panjang selembar kain. Saya harap, dengan begini, mereka tak hanya mampu membeli, tapi juga meresapi dan memaknai filosofinya."
Karena itu, setiap Edo mengunjungi kampung batik di sebuah daerah, hal itu mewajibkannya membuat cerita panjang tentang sinergi lingkungan sekitar. "Dengan demikian, penghargaan batik tak sekadar asal pakai, tapi roh dan spiritnya juga akan melekat di sini," katanya sambil menunjuk dada.
Sementara itu, Ikke Nirwan Bakrie, Ketua Rumah Pesona Kain (RPK), mengaku bahagia karena pada akhirnya batik menjadi tuan rumah di negeri sendiri. "Dulu ada anggapan bahwa yang pakai batik pasti 'jadul', hanya untuk ke undangan. Setelah semakin eksis dan naik kelas, batik menjadi identitas diri. Semua bangga, senang pakai batik, mulai anak-anak, remaja, hingga dewasa dan orang tua."
Melalui RPK, Ikke menularkan semangat untuk menjaga dan melestarikan kain lokal, termasuk batik, kepada generasi muda. Tak dimungkiri, yayasan atau lembaga pencinta kain seperti RPK dari waktu ke waktu tumbuh subur dengan mengusung idealisme, visi, dan misi yang beragam.
"Itu pertanda bagus, saling melengkapi. Tidak ada persaingan, justru menjadi alternatif untuk ikut mencintai, menjaga, dan melestarikan kain seperti batik."
Ikke mengakui, kehadiran wadah semacam ini membuat peminatnya, seperti para kalangan berduit atau papan atas, mencintai batik. "Tetapi saya ingin mereka tak sekadar mampu bayar atau borong. Yang paling penting, mereka harus bersikap memahami, menghargai, dan mencintai. Jangan merasa berduit, tapi tidak tahu spirit atau behind the story-nya."
Di tempatnya, upaya yang dilakukan adalah membuat sinergi berupa program pembinaan untuk menjalin hubungan sosial serta ekonomi antara perajin batik, penjual, peran perancang, dan pembeli. "Melalui proses panjang ini sebagai benang merah ikatan yang kuat di antara mereka."
Pengamat kain Sativa Sutan Aswar mengatakan, setelah batik naik kelas, bukan berarti pekerjaan selesai. "Masih banyak pekerjaan rumah, tidak berhenti di sini. Sekarang masyarakat ramai-ramai dan percaya diri memakai batik. Tapi harus diingat, kita mesti waspada terhadap serangan batik print Cina yang lebih murah dan beragam. Bila ini yang terjadi, kita hanya bangsa yang memakai batik impor yang memakai motif kita," ujarnya.
Karena itu, Atitje--demikian Sativa Sutan Aswar biasa disapa--mengajak masyarakat harus bersikap jeli dan kritis untuk mencintai batik buatan negeri sendiri. Menurut dia, hal ini memang bukan pekerjaan mudah, harus ada kampanye, sosialisasi, dan pemberian informasi yang benar tentang batik kita. "Jadi bukan kita sudah berbangga-bangga pakai batik, eh ternyata yang dipakai batik buatan negara lain, yang dengan leluasa dan memang mirip menyajikannya seperti batik negeri sendiri."
HADRIANI P
Tanpa Henti Inovasi Batik
Semenjak kisruh batik diklaim oleh negara tetangga, masyarakat beramai-ramai tergugah untuk ikut melestarikan kain itu. Batik, yang sebelumnya hanya dipakai oleh orang tua, dalam beberapa tahun belakangan marak dipakai kalangan muda.
Tak mengherankan jika kini bila kita datang ke sejumlah pasar tradisional maupun modern akan dengan mudah menemukan batik dengan beragam pilihan.
Jenis kain batik yang digelar para pedagang pun beragam. Mulai jenis, motif, asal daerah, bahan, warna, hingga harganya pun bervariasi, dari puluhan ribu, ratusan, bahkan sampai jutaan rupiah. "Sekarang ini memang makin banyak orang cari batik," kata Putri Rubiana, salah seorang pedagang di Mal Thamrin City.
Mengunjungi tempat yang diresmikan oleh pemerintah sebagai pusat batik Nusantara, kita akan menemukan berbagai pilihan batik dari berbagai daerah. Misalnya, Yogyakarta, Solo, Pekalongan, dan Madura. Disajikan dengan model yang beragam, dari busana muslim, kemeja, rok, hingga gaun malam.
Perancang mode Dina Midiani mengatakan kecintaan masyarakat kepada batik saat ini memang semakin kuat. Banyak sekali ragam motif dan modelnya. Namun, jika diamati lebih dalam, para perajin lebih banyak berinovasi pada motif, tapi kurang inovasi dari segi model. "Bila diperhatikan, modelnya itu-itu aja, cuma motifnya yang berbeda," kata Dina saat dihubungi Sabtu lalu.
Menurut Dina, inovasi sangat penting untuk terus dilakukan agar masyarakat tak mudah jenuh, dan batik dapat terus dilestarikan. Inovasi model batik bisa dilakukan lewat banyak cara. Dina mengibaratkan batik dengan arsitektur bangunan.
Kalau dulu, orang senang akan model klasik, lalu berubah menjadi kontemporer dengan gaya yang minimalis. Hal itu pun bisa diterapkan pada batik.
Motif batik umumnya sudah penuh, maka bisa dikombinasikan dengan bahan lain supaya tidak terkesan penuh. Kemudian motif yang biasanya menggunakan bentuk yang besar bisa dibuat lebih kecil atau minimalis.
Model juga bisa mengikuti selera masyarakat yang beragam, ada yang senang klasik, alam, atau berbau teknologi.
Sementara itu, Putri mengakui, soal motif, para perajin banyak melakukan inovasi tidak terpaku oleh motif-motif lama saja. Demikian pula dengan warna.
Batik, yang sebelumnya menggunakan warna yang cenderung monoton, kini warnanya semakin beragam. Namun, jika dilihat dari modelnya, memang tidak banyak berubah.
Meski demikian, hingga saat ini batik masih terus dicari oleh masyarakat luas. Persaingan antarpedagang batik lebih kepada persaingan harga. Mereka yang bisa mendapatkan kain batik dari perajin atau tangan pertama bisa menjualnya dengan harga yang lebih murah.
Susanti, seorang pedagang batik Solo, mengaku mencoba menarik minat pembeli dengan membuat model sendiri dengan jumlah terbatas, sehingga tidak pasaran. "Saya setiap bikin model jumlahnya terbatas," katanya saat ditemui. Meski demikian, harganya tetap terjangkau oleh kalangan menengah ke bawah, yakni dari puluhan ribu rupiah.
Menurut Dina, inovasi motif memang penting, tapi cara pemanfaatannya juga penting. Popularitas batik saat ini harus bisa dimanfaatkan sebagai kesempatan untuk menggali kreativitas. Selera masyarakat kepada batik saat ini sedang tumbuh, jangan sampai berhenti karena mereka jenuh terhadap model yang monoton.
AQIDA SWAMURTI