TEMPO.CO, Jakarta - Berhati-hatilah bagi perempuan yang sering mengalami migrain. Sebuah penelitian di Bringham and Women's Hospital di Boston, Amerika Serikat, menemukan fakta bahwa perempuan yang sering mengalami migrain mudah depresi dalam hidupnya.
Penelitian Dr. Tobias Kurth ini dilakukan terhadap 36 ribu perempuan yang mengaku tidak pernah mengalami depresi. Namun 14 tahun kemudian, didapatkan hasil, 40 persen perempuan mengalami depresi karena di masa lalunya pernah migrain.
Faktor resiko perempuan mengalami depresi diawali dengan timbulnya migrain sebagai reaksi visual beberapa kejadian. Seperti sorotan cahaya lampu tiba-tiba, tidak mampu melihat garis zigzag, dan kehilangan penglihatan sewaktu-waktu. Reaksi ini terkadang diikuti dengan sakit kepala sebelah.
"Kami berharap penemuan ini dapat mendorong dokter untuk berbicara mengenai pasien mereka yang mengalami migrain tentang resiko dari depresi, dan mencari jalan untuk mencegah terjadinya depresi," ujar Kurt kepada Time, Kamis, 23 Februari 2012.
Meski penelitian Kurt memerlukan waktu panjang untuk membuktikan kaitan antara depresi dan migrain, hingga saat ini belum ditemukan garis yang jelas antara frekuesi rasa sakit kepala dan kualitas hidup seseorang. Beberapa peneliti percaya bahwa depresi juga bisa disebabkan oleh faktor biologis.
Sebuah survei di Belanda tahun 2010 menemukan 977 anggota keluarga meyakini bila migrain disebabkan oleh faktor keturunan. Penemuan tersebut menyatakan, 25 persen keluarga yang mengalami migrain akan mengalami depresi.
Hingga saat ini pengobatan migrain yang paling efektif dilakukan adalah dengan melakukan pemeriksaan lebih spesifik terhadap penyebab migrain. Tujuannya adalah untuk mengindentifikasi faktor pemicu migrain dan mencegahnya untuk semakin parah.
Jika migrain mulai menyerang, tindakan pertama yang segera dilakukan adalah mengkonsumsi obat migrain sesegera mungkin, kemudian minum air putih yang banyak, dan berdiam diri di tempat yang agak gelap dan tenang. Tindakan terakhir dipercaya efektif untuk meredakan migrain.
HEALTHLAND TIME | CHETA NILAWATY