TEMPO.CO, Bandung - Ketika dunia teknologi memasuki rumah-rumah, anak-anak menjadi betah di rumah dengan bermain game atau game online di Internet. Permainan itu justru membuat anak-anak kurang peduli terhadap kehidupan sekitar, bahkan cenderung membentuk anak menjadi super-egois.
Berdasarkan keprihatinan tersebut, pada 1 April 2012, Komunitas Buleut didirikan dengan tujuan menjadikan anak-anak pintar bersosialisasi dengan mengajak mereka kembali bermain ke luar. "Kami ingin anak-anak menggerakkan badan, mencintai alam dan bersosialisasi," kata Dhea Karlina Irwanto, pengurus Komunitas Buleut, saat di hubungi di Antapani Bandung, Selasa, 25 Desember 2012.
Menurut dia, nama Buleut itu sendiri adalah singkatan dari budak leutik yang diambil dari bahasa Sunda yang artinya anak kecil. "Bersama Buleut kami ingin berbagi bersama, menjadikannya wadah bermain, dan berkarya," katanya.
"Dengan kegiatan ini, kami bukan ingin anak-anak tidak melek teknologi, tapi waktu mereka harus dibagi juga untuk bersosialiasi di luar, " kata Dhea. Menurut dia, mereka harus belajar teknologi, bermain komputer, namun harus seimbang dengan aktivitas di luar rumah dan bersosialisasi dengan teman-temannya.
Tak heran, kegiatan reguler Buleut terbagi antara bermain, bersosialisasi berbagi, dan berkarya. Kegiatan itu biasanya dilakukan di panti asuhan, panti asuhan anak jalanan, pendidikan anak usia dini (PAUD), taman kanak-kanak (TK), sekolah dasar (SD), hingga sekolah luar biasa (SLB) di Bandung dan sekitarnya.
Karena komunitas ini merangkul anak-anak pra-TK, kata Dhe, mereka juga menggelar kegiatan baca-tulis, berkarya, sosial, dan tamasya. Lokasi kegiatan bisa di Perpustakaan Baca-baca, Sekolah Taman, Komplek Studio Jeihan, Jl. Padasuka no 147.
Sasaran kegiatan ini adalah anak-anak di sekitar kompleks Sekolah Taman. Di sana terdapat perpustakaan yang menyediakan ratusan buku, dari buku cerita, novel, dan buku pelajaran. Di Kompleks Studio Jeihan juga ada pendopo yang cukup luas yang digunakan sebagai tempat bermain anak-anak.
Tak hanya itu, Buleut menggelar bioskop keliling dengan memutar film-film yang bertemakan anak, keluarga, dan film dokumenter yang menghibur dan edukatif. Bioskop keliling rutin digelar setiap 3 bulan sekali. Konsepnya layar tancap keliling, sehingga selain melibatkan anak-anak, warga, dan penjual jajanan rakyat di sekitar lokasi pemutaran film juga ikut dilibatkan.
Menurut Dhea, kegiatan ini diharapkan dapat menjadi sarana hiburan alternatif bagi warga, terutama anak-anak. Jumlah anggotanya mencapai puluhan, dari mahasiswa hingga guru. Untuk menggelar semua kegiatan di atas, dananya didapat dari saweran dan para donatur. "Kami ingin kegiatan ini terus hidup, agar anak-anak tumbuh dengan mental sosial yang baik," ujar Dhea.
Beberapa anggota Buleut menjadikan komunitas itu sebagai tempat belajar untuk mengenal anak kecil, seperti yang dilakukan Arfan, anggota Buleut. Dia mengaku sebelumnya tak menyukai anak kecil, karena mereka identik dengan kenakalan. "Tapi setelah bergabung dengan Buleut, saya semakin menyukai anak kecil," kata Arfan.
INDAH KARIMATUNNISA | ENI S