TEMPO.CO Jakarta - Ada anekdot orang Indonesia akan dianggap fasih berbahasa Inggris bila dia bermimpi dalam bahasa Inggris. Tapi, bagi Jasmine Puteri, bahasa yang dia gunakan dalam bermimpi amat bergantung pada tempat di mana dia tinggal.
Ketika ia tinggal setahun di Kota Alghero, Italia, Jasmine bermimpi dalam bahasa Italia. Itu karena pergaulan sehari-harinya menggunakan bahasa Italia. “Tapi, pas balik ke sini, balik lagi mimpi saya dalam bahasa Indonesia,” kata Jasmine, yang semasa SMA pernah mengikuti program pertukaran pelajar di Italia pada 2004-2005, ketika ditemui Tempo akhir September 2013.
Pengalaman berbeda dialami oleh Aryanie Amellina. Meski sama-sama pernah tinggal di Italia, mimpinya justru dalam bahasa Inggris. Pasalnya, bahasa yang ia gunakan di kelas dan kehidupan sehari-hari menggunakan bahasa Inggris. “Jadi, meski di Italia, aku mimpinya dalam bahasa Inggris,” kata Aryanie, yang tahun lalu mengambil kuliah master di Kota Pavia, Italia.
Menurut Direktur Eksekutif Polyglot Indonesia, Mira Fitria Viennita Zakaria, sebenarnya ada metode lain yang dipercaya bisa mengukur kemampuan berbahasa seseorang. “Misalnya, kalau dia bisa marah dalam bahasa asing atau menawar belanjaan,” kata perempuan yang pernah lama tinggal di Austria ini.
Tentu saja bukan karena ingin tetap bermimpi dalam bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya mereka bergabung dalam Komunitas Polyglot Indonesia. Menurut Mira, tujuan utama komunitas ini adalah menjaga agar kemampuan berbahasa asing mereka tetap terasah.
Karena itu, kata dia, komunitas ini bukan tempat bagi orang yang baru belajar bahasa asing. “Kalau itu sudah ada wadahnya, seperti kursus,” kata perempuan yang bekerja di Badan Kerja Sama Teknik Jerman (GTZ) ini.
Salah satu program utama komunitas yang terbentuk pada 2010 ini adalah pertemuan (meet-up). Di sini, anggota komunitas akan bertemu dan berbincang-bincang dalam meja-meja bahasa yang sudah dipilih, misalnya “meja Spanyol” atau “meja Prancis”.
Mira mengatakan, hingga saat ini mereka sudah menggelar 12 kali pertemuan. Acara ini tidak hanya digelar di Jakarta, tapi juga di kota-kota yang sudah punya komunitas serupa, seperti Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, dan Banda Aceh. Setiap pertemuan rata-rata diikuti oleh 30 orang.
Komunitas ini sebenarnya bukan hanya untuk orang Indonesia, tapi juga bagi orang asing yang ingin memperlancar bahasa Indonesia. Terutama bagi mereka yang akan bekerja di lembaga swadaya masyarakat dan peneliti. “Mereka, kalau ke lapangan, mau tak mau mesti pakai bahasa Indonesia atau bahasa daerah,” katanya.
Karena itu, kata Mira, pengertian poliglot tidak hanya mencakup kemampuan berbahasa asing, tapi juga bahasa daerah.
IQBAL MUHTAROM
Topik Terhangat
Edsus Lekra | Senjata Penembak Polisi | Mobil Murah | Info Haji | Kontroversi Ruhut Sitompul
Berita Terpopuler
Ahok: Jangan Coba Ubah Pancasila
Holly Angela Ditemukan dengan Tangan Terikat
Benget, Pembunuh Sadis Istrinya Sendiri, Tewas?
Ada Kesengajaan Insiden Lion Air di Manado?
TNI Tertarik Kecanggihan Kapal Selam Rusia