TEMPO.CO , Jakarta:Penggunaan dasi kupu-kupu di tempat kerja seringkali dianggap tidak lazim, dan bahkan dihindari. Di Amerika Serikat, pegawai yang menggunakan cravat—nama lain bow tie, seringkali dianggap bukan pekerja yang serius. Menurut GQ—majalah gaya hidup pria, masa keemasan dasi kupu-kupu sebagai pakaian kerja memudar sejak mantan Presiden Amerika Harry S Truman, yang juga pengguna setia bow tie, menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki. Sedangkan, GQ juga mencatat pada tahun 1970-an, dasi kupu-kupu lekat dengan citra nerd alias orang aneh.
Citra itu tidak jauh bergeser hingga kini, meskipun tren bow tie mulai marak lagi sebagai pernyataan mode yang sedikit nyeleneh. Dasi kupu-kupu baru bisa diterima sebagai pakaian kerja yang lazim di wilayah selatan negeri Abang Sam, dan tidak di sembarang tempat kerja. Yaitu, di kantor-kantor dengan fokus usaha kreatif, namun bukan untuk bisnis konservatif.
Baca Juga:
Di Jakarta, dasi kupu-kupu mulai diterima sebagai pakaian kantor. Aditya Aziz, 24 tahun, memngaku sudah tiga tahun memakai bow tie secara rutin ke kantor. Pegawai perusahaan art event organizer ini, merasa senang menggunakan dasi kupu-kupu. “Kebetulan memang cocok sama gue dan banyak masukan positif dari orang-orang sekitar,” ujar Adit yang memiliki delapan bow tie.
Bos dan rekan kerjanya, tidak keberatan jika Adit, tampil sedikit berbeda dengan bow tie di kantor. “Mereka melihatnya sebagai sesuatu yang baru, dan tidak ada reaksi negatif,” ujar Adit. Sang bos, bahkan mendukung Adit untuk meneruskan kebiasaannya memakai bow tie ke kantor.
Adit suka berburu dasi kupu-kupu di sejumlah toko khusus pakaian pria seperti Topman, ataupun toko khusus manset bagi pria, The Cufflinks. Menurut Adit, harganya pun tidak terlampau mahal. “Sekitar Rp 100 ribuan,” ujar dia. Tertarik untuk mencoba dasi kupu-kupu?
GQ | SUBKHAN