TEMPO.CO, Jakarta - Obesitas menjadi masalah jamak di Indonesia. Data Riset Kesehatan Dasar Kementerian Kesehatan 2013 menunjukkan 15 provinsi memiliki prevalensi sangat gemuk di atas rata-rata nasional. Di antaranya adalah Kalimantan Tengah, Jawa Timur, Banten, Kalimantan Timur, Bali, Kalimantan Barat, Sumatera Utara, Kepulauan Riau, Jambi, Papua, Bengkulu, Kepulauan Bangka Belitung, Lampung, dan DKI Jakarta.
Angka tersebut melingkupi kejadian obesitas pada balita, yaitu 11,9 persen dari total penduduk. Pada orang dewasa lebih tinggi lagi, yakni 32,9 persen pada perempuan dan 19,7 persen pada laki-laki. "Sebenarnya, masyarakat di Indonesia sudah mulai sadar hidup sehat karena kondisi berat badan ini," kata ahli gizi, Emilia E. Achmadi, seperti dimuat Koran Tempo, Selasa, 5 Agustus 2014.
Namun mereka kebanyakan memakai caranya sendiri berdasarkan informasi yang dilihat, diperoleh, dan dibaca dari media massa dan Internet. "Ini yang berbahaya," kata Emilia, yang juga mengelola situs Nutritionisme.com.
Informasi yang tak jelas kebenarannya itu membuat mereka rentan terhadap penipuan, entah itu promosi diet atau tren pola makan tertentu. Menurut Emilia, masyarakat bergegas melakukan diet tanpa didampingi ahli gizi atau dokter. Mereka hanya termakan tren dan gambaran media bahwa diet tersebut berhasil. Padahal, ujar dia, kebanyakan orang yang menjalankan diet penurunan berat badan tidak memulainya dalam kondisi yang sehat. "Mereka hampir selalu punya masalah, entah itu tekanan darah atau jantung," tuturnya. (Baca: Diet di Usia Dini Tidak Baik untuk Tubuh)
Maka, Ketua Umum Asosiasi Dietisien Indonesia Martalena Purba menyarankan pelaku diet untuk mengecek kesehatannya dahulu sebelum menjalani program penurunan berat badan. Dia tidak menganjurkan penurunan berat badan yang drastis dalam jangka pendek. Sebab, program penyusutan semacam itu menghilangkan cairan, komponen yang mengisi 60 persen bagian tubuh, bukan lemak.
Normalnya, tutur Martalena, orang dewasa dengan aktivitas normal hanya dapat menurunkan berat badan 1 kilogram per pekan. Penurunan berat secara perlahan berdampak pada tubuh yang tak cepat naik kembali setelah program diet dihentikan karena sudah beradaptasi. "Jadi, tidak seperti sindrom yoyo," katanya.
DIANING SARI
Baca Juga
Melayani Calon Miliarder Indonesia
Kalette, Kol yang Sedang Ngetren di Amerika
Marshanda Dikawal Polisi ke Kantor O.C. Kaligis
Sinar Matahari Bisa Rusak Permukaan Mata