TEMPO.CO, Jakarta - Ada pertanyaan menarik, di manakah letak seorang pebisnis murni dalam industri mode? Di Indonesia, letaknya agak membingungkan. Rumah mode masih menjadi studio seni dengan para desainer sebagai penentu arah bisnis. Di negara mode, seperti Prancis, Italia, Amerika Serikat, atau Inggris, mereka berada di balik pintu dan dianggap sebagai orang upahan yang tidak menentukan sejarah mode. Akan tetapi, Yves Carcelle adalah pengecualian. Pria yang meninggal pada 1 September lalu ini tidak hanya mencatatkan keuntungan, tapi juga mencetak sejarah mode dunia.
Carcelle, yang meninggal pada usia 66 tahun, bergabung dengan Louis Vuitton (Baca: Miss Jinjing: Media Asing Salah Soal Gaya OKB) setelah perusahaan itu bergabung dengan produsen minuman Moet et Chandon dan Hennessey menjadi Moet Hennessy Louis Vuitton S.A. (LVMH) yang membuat barang-barang luks. Saat dia bergabung, Louis Vuitton masih menjadi produsen barang-barang kulit mewah, seperti tas dan dompet. Delapan belas tahun setelah menjadi Presiden Direktur LV, Carcelle menggaet Marc Jacobs untuk membuat busana dan sepatu. Inilah untuk pertama kalinya LV memiliki koleksi busana siap pakai. Tanpa Carcelle, LV mungkin tak akan menjadi rumah mode.
Tak berhenti sampai di sana, Carcelle--yang pada 1998 dipromosikan menjadi penanggung jawab LVMH Fashion Group--kemudian mengembangkan bisnis mode. Ia menggaet sejumlah rumah mode, seperti Celine, Dior, Donna Karan, Fendi, Givenchy, Kenzo, dan Marc Jacobs. (Baca: Nonton Wimbledon, Victoria Beckham Tampil Elegan) Keuntungan pun berlipat-lipat. Sejak dia tangani, butik mode LVMH berganda menjadi 1.300 butik di 50 negara lebih. Keuntungannya pun menjadi US$ 13 miliar (Rp 150 triliun).
"Dia bisa melihat gambaran besar suatu hal saat bekerja untuk menyempurnakan detail kecil," kata Antoine Arnault, anak bos LVMH Bernard Arnault yang dekat dengan Carcelle. "Ini adalah gabungan sempurna antara otak kanan dan kiri, suatu keahlian yang kau inginkan saat berada di level tertinggi manajemen." Carcelle, yang lahir di Paris, adalah sarjana matematika dan bisnis dari Ecole Polytechnique dan sekolah bisnis Insead. Dia bisa membuktikan bahwa sejarah mode kadang dicetak oleh naluri bisnis, bukan hanya keindahan karya.
QARIS TAJUDIN |BERBAGAI SUMBER
Terpopuler
Komunitas Andalkan Kerendahan Nurani
Enam Keluarga Terbaik di Sunlight Living Challenge
L'Oreal Women of Worth, Mencari Perempuan Inspiratif
Pameran Wahana Permainan Dunia di Balai Sidang
Semangat Thursday Night Running