TEMPO.CO, Jakarta - Senyum terkembang di wajah Ratih Nur Cahyani saat dia keluar dari ruang poli kulit dan kelamin di Rumah Sakit Yasmin, Banyuwangi, dua pekan lalu. "Ternyata kamu benar, tidak sakit," kata dia, kepada sahabatnya, Rudia Hartiningsih. "Prosesnya juga cepat."
Ini merupakan pertama kalinya Ratih, 46 tahun, menjalani Pap smear, (Baca: Sepertiga Wanita Usia 20-an Lewatkan Pap Smear) pemeriksaan potensi kanker di leher rahim atau serviks. Dia diajak Rudia karena sama-sama berada di usia rawan kanker serviks. Rudia pertama kali melakoni pemeriksaan tersebut sepuluh tahun lalu. Namun dia enggan mengulanginya karena masalah biaya. Padahal, dokter menyarankannya agar diperiksa setahun sekali.
Rudia baru kembali memeriksakan leher rahimnya pada bulan lalu, saat membaca brosur Pap smear gratis bagi pemegang kartu Jaminan Kesehatan Nasional. Dia lalu mengajak teman-temannya, termasuk Ratih.
RS Yasmin dipadati pasien yang berniat sama. Agus Rianto, manajer pemasaran di rumah sakit swasta tersebut, mengatakan terjadi kenaikan jumlah pasien dua kali lipat setelah adanya peniadaan biaya bagi pemilik kartu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, Juli lalu. “Tadinya hanya satu-dua, jadi dua-lima pasien per hari. Dalam satu bulan bisa seratus pasien," ujarnya.
Menurut Agus, layanan Pap smear gratis mengubah pola pikir perempuan. Sebelumnya, dia melanjutkan, pasien hanya memeriksakan diri bila muncul gejala seperti keputihan dan perdarahan. Hal itu berbahaya karena rata-rata pasien sudah mengidap kanker leher rahim (Baca: Setiap Jam Perempuan Indonesia Meninggal Karena Kanker Serviks) stadium lanjut. "Sekarang lebih baik karena mereka datang murni sebagai bentuk pencegahan," katanya. Dia mengklaim pemeriksaan itu tidak menyakitkan dan hanya butuh dua menit. Untuk sekali periksa, mereka dikutip biaya Rp 89 ribu.
Tempo pun menjajal tes ini. Di kamar poli, saya berbaring dengan posisi kedua kaki tertopang sandaran besi, serupa posisi bersalin. Perawat kemudian mengoleskan gel, lalu membuka vagina dengan alat yang disebut speculum alias cocor bebek. Ketika leher rahim terlihat, dimasukkan lagi semacam sikat halus untuk mengambil lendirnya. Lendir kemudian dioleskan pada kaca obyek untuk dianalisis di laboratorium. Benar, proses itu kelar dalam dua menit.
Chohari, Kepala Unit Manajemen Kesehatan Primer BPJS Banyuwangi, mengatakan baru ada 141 hasil Pap smear dari pemeriksaan pada Juli dan Agustus lalu di wilayahnya. Menurut dia, butuh waktu dua pekan untuk mendapatkan hasil pemeriksaan dari laboratorium yang berada di Surabaya. Kabar baiknya, "Tidak ditemukan perempuan yang positif mengidap kanker leher rahim," kata dia, akhir pekan lalu. "Sebagian kecil, sekitar 5 persen, ditemukan kasus inflamasi atau iritasi sel akibat infeksi."
Di Yogyakarta, penyelenggara BPJS bekerja sama dengan Yayasan Kanker Indonesia (YKI) untuk memeriksa leher rahim 5.000 perempuan sampai akhir 2014. Target tersebut tergolong tinggi lantaran Yogyakarta merupakan daerah dengan prevalensi kanker tertinggi secara nasional, yaitu 4,1 persen; diikuti Jawa Tengah 2,1 persen; dan Bali 2 persen. "Paling banyak kanker serviks dan payudara," (Baca: Tidak Perlu Malu Periksa Serviks) kata Andayani Budi Lestari, Kepala BPJS Kesehatan Jawa Tengah dan Yogyakarta.
BPJS dan YKI menjemput bola dan mulai menghubungi Dharma Wanita serta menemui perempuan pedagang di pasar-pasar tradisional. Label gratis tidak serta-merta membuat perempuan memeriksakan diri. "Karena ada mitos, kalau kena kanker pasti mati," kata Sunarsih Sutaryo, Wakil Ketua YKI Yogyakarta. "Makanya mereka takut."
REZA MAULANA | IKA NINGTYAS | PITO AGUSTIN RUDIANA
Terpopuler
Tetap Konsisten Berbagi Nasi Bungkus
Komunitas Andalkan Kerendahan Nurani
Sosok Penting Si Ahli Kreativitas Louis Vuitton
Dihina Gemuk, Bobot Penderita Obesitas Bertambah