TEMPO.CO, Jakarta - Delapan desainer muda Indonesia yang tergabung dalam Indonesia Fashion Forward (IFF) resmi memasuki pasar retail lewat gerai Fashion Lab Galeries Lafayette di pusat perbelanjaan Pacific Place, Jakarta. Ini menjadi debut pertama sebagian desainer yang selama ini karyanya hanya bisa dilihat lewat panggung peragaan busana saja. Program Fashion Lab alias Labo Mode adalah gerai khusus dari departement store asal Prancis ini. Desainer Yves Saint Laurent dan Jean Paul Gaultier menjadi sedikit nama yang pernah memulai debutnya dari program ini.
“Ini menjadi pertama kalinya kami hadir di departement store,” ujar Patrick Owen seusai peluncuran Fashion Lab, Kamis, 9 Oktober 2014. Patrick merupakan salah satu desainer terpilih dalam program Fashion Lab generasi pertama. Dengan hadir di pusat perbelanjaan, Patrick menyatakan bahwa semua koleksinya sudah siap diproduksi secara massal sesuai dengan syarat dan ketentuan yang diberlakukan oleh Indonesia Fashion Forward.
IFF sendiri merupakan platform industri mode Indonesia yang menampung desainer ataupun label terpilih untuk mengikuti program inkubator kerja sama Center for Fashion Enterprise London, Kementerian Perdagangan, British Council, dan grup media gaya hidup Femina. Melalui program ini, mereka yang terpilih diajak untuk membenahi kembali label serta segmen pasar yang ingin dicapai, dan bahkan menembus pekan mode internasional.
Label dan desainer yang masuk dalam Fashion Lab generasi pertama ini selain Patrick Owen, antara lain Tex Saverio, Monstore, JII by Gloria Agatha, Yosafat Dwi Kurniawan, Monday to Sunday, Fbudi, dan Major Minor. Kehadiran Toton di Fashion Lab sebenarnya cukup menarik. “Toton lebih banyak menjual karyanya di luar negeri, ini pertama kalinya dia menjual karyanya di Indonesia,” ujar Creative Director Jakarta Fashion Week Diaz Parsada kepada Tempo. Toton menyuguhkan koleksi blus dan rok dengan motif garis-garis yang mengingatkan kita pada batik lurik.
Karya para desainer ini, tampaknya bukan untuk sembarangan orang. Sebagian besar menyasar pasar kelas menengah atas, atau bahkan crème de la crème dari populasi penduduk Indonesia. Ini merujuk pada 0,01 persen penduduk Indonesia yang memang memiliki kemampuan finansial yang mumpuni. Range harga karya para desainer ini dimulai dari jutaan, hingga puluhan juta. Tengok saja sebuah jaket dengan teknik laser cut karya Tex Saverio yang dibanderol sekitar Rp 10 juta hingga yang termahal sekitar Rp 30 juta. Atau ada pula sweter milik Patrick Owen yang berada pada kisaran harga yang nyaris serupa.
Pilihan untuk kelas menengah sebenarnya masih tersedia dengan masuknya label Major Minor, Yosafat Dwi Kurniawan, ataupun Monstore pada Fashion Lab. Harga sebuah kardigan Major Minor bisa mencapai Rp 1 juta. Sedangkan blus ataupun gaun Yosafat mencapai kisaran harga Rp 3 juta. Khusus untuk Monstore, sebenarnya harganya bisa lebih miring lagi. Label yang menyasar segmen muda ini memang sudah lama berkibar di The Goods Departement Store ataupun Embrio Store mereka di Kemang. Harga yang mereka tawarkan biasanya berada pada kisaran ratusan ribu.
Yang jelas, memasuki sektor retail berarti para desainer dan label harus siap dengan tuntutan konsistensi, termasuk dalam hal jumlah barang yang akan diproduksi. Hal ini diamini oleh Patrick yang sebelumnya melayani pemesanan secara terbatas. “Kami memang sudah siap kok untuk pasar retail,” ujar Patrick.
SUBKHAN