TEMPO.CO , Jakarta:Tuberkulosis atau TB di Indonesia kini mulai mengenal MDR TB yaitu Muliti Drug Resistent Tuberculosisa atau dikenal dengan tuberkulosis yang resisten alias kebal. Demikian hal ini dijelaskan Prof dr Tjandra Yoga Aditama pada surat elektroniknya hari Minggu, 1 Maret 2015 di Jakarta.
Menurut Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) kantor Kementerian Kesehatan, MDR TB memiliki kekebalan terhadap obat anti TB utama, yaitu rifampisin dan INH.
"Padahal di dunia, TB ini merupakan ancaman serius dalam penanggulangan tuberkulosis," kata dia.
Tjandra juga menjelaskan pengobatan MDR TB lebih sulit, obatnya lebih banyak yang harus diminum. Kemudian waktu pengobatannya lebih lama sampai sekitar dua tahun dan memiliki efek samping yang lebih sering. Diceritakan Tjandra di Indonesia, ada sekitar 6800 kasus MDR TB. Kemudian Indonesia menduduki peringkat ke 10 yang merupakan MDR TB terbanyak di dunia. Selanjutnya, kini di Indonesia ada 28 rumah sakit yang dapat menangani MDR TB.
"Selain MDR TB, Indonesia juga sudah ditemukan kasus Pra XDR TB (MDR TB) dengan resistensi kuinolon atau obat suntik. Bahkan sudah ada kasus XDR TD. Karena itulah, saya serius mengajak mari bersama-sama menangani MDR TB ini."
Tjandra juga menjelaskan pada Sabtu (28/2) sudah diluncurkan Indonesia Initiative on MDR TB Care (Indonesia IMTC), yang dihadiri para tokoh penting dunia kesehatan di Indonesia dari berbagai lapisan termasuk instansi, masyarakat dan swasta. Kemudian juga dihadiri pewakilan dari Asia dan Badan Kesehatan Dunia (WHO).
"Peluncuran Indonesia IMTC merupakan wadah dari berbagai pihak yaitu profesi, organisasi masyarakat, swasta dan pemerintah dalam bentuk Public Private Partnership (PPP) untuk berperan serta dalam penanggulangan MDR TB di Indonesia.
Tjandra juga menjelaskan Indonesia IMTC ini terdiri dari 3 hal yaitu penyebarluasan informasi tentang MDR TB pada para dokter, dan petugas kesehatan lainnya berupa kumpulan artikel TB, newsletter, kegiatan di media masa yang akan dilakukan secara rutin setiap tiga hingga enam bulan sekali.
"Kemudian penelitian TB&MDR TB dalam aspek epidemiologi, klinik dan sosial atau perilaku. Dan pemberian penghargaan pada peneliti TB dalam bentuk pelatihan di dalam dan luar negeri," kata Tjandra.
HADRIANI P.